Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 20:08 WIB | Rabu, 07 Mei 2014

Desain Kebijakan Luar Negeri Pemerintahan SBY Tidak Jelas

Dosen Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Broto Wardoyo. (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dosen Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Broto Wardoyo, menilai selama masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia tidak memiliki desain yang jelas dalam menentukan arah kebijakan luar negeri.

“Berbicara mengenai kebijakan luar negeri, seharusnya kita punya nilai yang akan dibawa, kepentingan jangka pendek, serta prioritas kebijakan. Namun pemerintahan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, tidak memiliki pola atau desain yang jelas dalam menentukan arah kebijakan luar negerinya,” ucap Broto, saat ditemui satuharapan.com di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Rabu (7/5).

Meski demikian, Broto tidak menampik bahwa selama pemerintahan SBY, Indonesia mengambil beberapa langkah yang dapat disebut sebagai sebuah prestasi.

“Ada beberapa pencapaian besar yang berhasil diwujudkan dalam pemerintahan SBY, seperti masuk G20 (kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa), tapi hal tersebut tidak membuat Indonesia punya panduan nan besar,” Broto menambahkan.

Dosen Mata Kuliah Dinamika Kawasan Timur Tengah itu memberi contoh pada kasus kebijakan luar negeri yang diambil Indonesia bagi Timur Tengah dan Palestina. 

“Kebijakan luar negeri Indonesia di Timur Tengah, tidak ada panduan pada hal yang akan dilakukan disana, kita hanya terjebak rutinitas. Hal serupa kembali terulang dengan Palestina, kita bagai orang bingung, berpartisipasi tapi tidak tahu apa yang kita lakukan disana,” kata Broto.

Menurutnya, hal tersebut terjadi karena Indonesia tidak memiliki arah utama dalam pengambilan kebijakan luar negeri, dan itu menjadi kelemahan terbesar Indonesia.

“Prioritas kebijakan diberi pada kawasan ASEAN, postur internasional Indonesia yang dihargai karena peningkatannya, lalu keterlibatan Indonesia dalam klub-klub utama dunia, namun kita tidak melihat arah utama dan desain besar nya kemana. Justru menjadi kelemahan utama dari kebijakan luar negeri indonesia,” tutur Broto.

Selain itu, Broto juga melihat adanya pengaruh politik dalam negeri Indonesia pada setiap pengambilan kebijakan luar negeri. Seperti pada kasus nuklir di Irak, ketika Indonesia setuju pada resolusinya, namun publik berkata tidak setuju dan parlemen bereaksi, muncul kesulitan yang dihadapi untuk pengambilan keputusan.

“Proses demokrasi yang dijalani Indonesia beberapa tahun terakhir, menyebabkan kebijakan luar negeri kita dipengaruhi politik dalam negeri, karena kebijakan luar negeri kita diarahkan pada domain tertentu nan sesuai dengan keadaan politik domestik,” kata Broto.

Namun pada satu sisi, hal tersebut memberi sinyal bahwa kebijakan luar negeri telah menjadi bagian dari masyarakat.

“Hal tersebut memberi arti, bahwa kini kebijakan luar negeri bukan hanya konsumsi elit, pemerintah harus mempertimbangkan kebutuhan publik yang harus dirangkul,” Dosen Depatemen Hubungan Internasional UI itu menambahkan.

Koordinasi Tidak Berjalan Baik

Selanjutnya, Broto Wardoyo mengharapkan agar terwujudnya keseimbangan antara menteri luar negeri nan kuat dan memahami kondisi internasional dengan sosok presiden yang memiliki pengetahuan tentang luar negeri.

Pada beberapa titik ada peningkatan, tapi kebijakan luar negeri tidak selalu menjadi domain kementerian luar negeri. Presiden harus memiliki desain utama, sedangkan menteri luar negeri menjadi pewujud desainnya,” tutur Broto.

Sebagai contoh, kasus nan menimpa Indonesia pada November tahun lalu, yakni kasus terungkapnya penyadapan Australia pada Indonesia. Menurutnya hal tersebut menyandera Indonesia, ketika SBY menuntut permintaan maaf dan menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia.  

“Kemudian relasi kita dengan Australia mau dikemanakan dan diapakan?” Broto menambahkan.

Broto Wardoyo mengharapkan agar hal itu tidak kembali terulang. 

“Itu memperlihatkan tidak adanya pikiran panjang dan hanya emosional belaka. Butuh kerja sama antara presiden dan menteri luar negeri, karena bila ada proses interaksi yang baik, maka hal ini bisa dipikirkan lebih matang,” tutup dia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home