Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 07:49 WIB | Selasa, 29 Oktober 2013

Dewan Pers Siap Rumuskan Pedoman Peliputan Terorisme

Ketua Dewan Pers, Bagir Manan. (Foto: Elvis Sendouw)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dewan Pers siapkan rumusan pedoman peliputan terorisme guna menjamin hak-hak serta mengatur batasan bagi para wartawan tanpa mengganggu proses pemberantasan ataupun pencegahan tindak terorisme oleh pihak berwenang.

"Harus ada aturan-aturan yang dibentuk guna mengatur mana yang perlu, boleh, harus dan sebagainya. Namun harus diperhatikan bahwa aturan tersebut tidak boleh sampai kemerdekaan pers dibahayakan," kata Ketua Dewan Pers, Bagir Manan kepada wartwan di kantornya, pada Senin (28/10) di Jakarta.

Bagir menilai tindak terorisme merupakan sesuatu yang layak diberitakan, baik itu untuk kepentingan pemberantasan dan pencegahan maupun pemberitaan pers. "Yang terpenting adalah bagaimana menjadikannya lebih bisa dikelola," ungkap Ketua Dewan Pers itu.

Dia juga mengatakan bahwa pers memiliki tugas besar untuk mencegah tindakan terorisme dan tidak hanya menyampaikan informasi dan fakta yang ada. “Pers, berperan besar untuk melawan tindak terorisme dan mencegah munculnya rasa takut di tengah masyarakat,” himbau Bagir Manan.

Problematika

Sementara itu, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo menilai, bahwa pemberitaan terorisme memiliki sejumlah problematika dalam peliputan serta penyiarannya. "Misalkan untuk tersangka terorisme, yang sudah masuk ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kepolisian. Tentu fotonya lebih baik disebarkan meskipun itu berlawanan dengan Kode Etik Jurnalistik Indonesia," kataYosep Stanley Adi Prasetyo.

"Penggunaan azas praduga tidak bersalah dengan menyembunyikan wajah foto di DPO, tentu justru menjauhkan peran masyarakat yang berkepentingan untuk membantu pihak berwajib untuk melaporkan apabila melihat wajah tersebut," ungkap Ketua Komisi Hukum Dewan Pers itu menambahkan.

Kemudian Stanley menggarisbawahi, bahwa proses perumusan pedoman peliputan terorisme harus secara aktif melibatkan pelaku media, supaya tidak memunculkan kesan pembatasan dan pengaturan berlebihan. "Prosesnya harus dari bawah ke atas, dan bukannya dari atas ke bawah. Sulit kalau dari atas ke bawah karena akan ada interpretasi Dewan Pers mengatur dan membatasi dengan semena-mena," kata Stanley.

Di lain pihak, Deputi Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Agus Surya Bakti menilai, pers kerap kali kurang melihat upaya pencegahan sebagai bahan berita yang menarik, jika dibandingkan aksi penindakan teroris.

"Upaya pencegahan dan deradikalisasi kami sudah berjalan banyak, akan tetapi agaknya rekan-rekan media kurang tertarik dengan itu. Kebanyakan media lebih tertarik dengan kejadian penindakan atau setelah aksi berlangsung," kata Agus Surya Bakti perihatin. (Antara)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home