Loading...
HAM
Penulis: Ignatius Dwiana 20:53 WIB | Senin, 24 Juni 2013

Di Indonesia Anak Pencari Suaka Terlantar dan Mengalami Siksaan

Pengungsi Rohingya di Sumatera, April 2013. (foto: bbc.co.uk)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Indonesia menahan dan menelantarkan pengungsi dan anak pencari suaka, mereka diikat, dipukuli dengan pentungan, disundut dengan rokok, dan disengat dengan alat listrik oleh penjaga, demikian dinyatakan Human Rights Watch (HRW) dalam laporan yang diluncurkan hari Senin ini (24/6). Setiap tahun, ratusan orang ditahan dalam kondisi yang sangat buruk, tanpa akses kepada bantuan hukum, dan kadang-kadang mengalami pemukulan. Ada juga yang dibiarkan menyelamatkan diri, tanpa bantuan pangan atau tempat berlindung.

Laporan sepanjang 86 halaman, Barely Surviving: Detention, Abuse, Neglect of Migrant Children in Indonesia (Nyaris Bertahan: Penahanan, Kekerasan, dan Penelantaran terhadap Anak Migran di Indonesia), menggambarkan secara rinci perlakuan buruk Indonesia terhadap pengungsi dan anak pencari suaka.  Anak-anak tersebut tiba di Indonesia setelah melarikan diri dari pengejaran, kekerasan dan kemiskinan di Somalia, Afghanistan, Pakistan, Birma, dan tempat-tempat lain.  Setiap tahun, Indonesia menahan ratusan pengungsi dan anak pencari suaka tanpa menyediakan jalan bagi mereka untuk menggugat penahanan yang mereka alami. Hukum Indonesia memungkinkan kamp pengungsian imigrasi selama-lamanya 10 tahun.

“Anak-anak yang menjadi pengungsi dan pencari suaka sudah menjalani risiko ancaman mati atau luka berat dengan berusaha melarikan diri untuk sampai di Indonesia,” kata Alice Farmer, peneliti hak-hak anak di HRW.

Pengungsi anak tanpa pendamping yaitu anak-anak yang melakukan perjalanan tanpa perlindungan orang tua atau pendamping dewasa lain yang dapat memberi perlindungan. Pengungsi anak dapat jatuh ke dalam kehampaan hukum.  Tanpa adanya lembaga negara yang bertanggungjawab atas perwalian bagi mereka, tidak ada yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.  Di antara anak-anak tersebut, ada yang merana di dalam kamp pengungsian, sementara ada yang hidup di jalanan, tanpa bantuan hukum atau bantuan fisik yang menjadi hak mereka menurut hukum.

Banyak pengungsi anak, baik sendiri atau bersama keluarga, mempertaruhkan nyawa dengan menempuh perjalanan kapal ke Australia. Mereka tanpa masa depan yang menjanjikan. Umumnya mereka menumpang kapal yang tak layak layar, yang disediakan para penyelundup, tanpa bahan bakar yang cukup. Diperkirakan ratusan nyawa hilang setiap tahun pada rute penyeberangan ini.

Untuk laporan ini, HRW mewawancarai 102 orang pengungsi berumur antara 5 hingga 66 tahun. Empat puluh dua di antaranya masih berumur anak-anak ketika memasuki Indonesia.  Peneliti HRW bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintah yang mengurusi keimigrasian, dan mewawancarai anggota-anggota staf organisasi-organisasi antar-pemerintah maupun non-pemerintah.

Baik anak-anak maupun dewasa menggambarkan penjaga-penjaga keamanan yang menendang, meninju, dan menempelengi mereka atau orang-orang lain dalam tahanan. Beberapa melaporkan bahwa mereka diikat, dipukuli dengan pentungan, disundut dengan rokok, dan disengat dengan alat listrik oleh penjaga.  Orang tua mengatakan bahwa penjaga imigrasi memaksa anak-anak mereka, termasuk anak-anak berumur 4 dan 6 tahun untuk menonton penjaga memukuli pengungsi lain pada satu kasus.  Beberapa anak laki-laki tanpa pendamping mengatakan kepada HRW bahwa mereka mengalami pemukulan oleh penjaga imigrasi Indonesia di dalam kamp pengungsian.

Kondisi dalam kamp pengungsian berada jauh di bawah standar internasional. Kamp pengungsian sering bermuatan melebihi kapasitas, tidak bersih, dan ada kalanya tergenang air.  Anak-anak hampir tidak mendapat akses kepada pendidikan dan waktu rekreasi yang disediakan bagi mereka pun kurang.  Beberapa orang anak mengatakan bahwa mereka tidak melihat sinar matahari berminggu-minggu.

Lebih dari seribu anak tanpa pendamping tiba di Indonesia tahun 2012.  Banyak dimasukkan dalam kamp pengungsian bersama dengan orang-orang dewasa yang bukan kerabatnya, kondisi yang meningkatkan risiko mereka mengalami kekerasan dan pelanggaran hak yang menjadi ciri fasilitas detensi imigrasi Indonesia.

Sejak Maret 2013, hampir 2 ribu pencari suaka dan pengungsi anak berada di Indonesia;  jumlah ini mengalami peningkatan setiap tahun dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini.  Indonesia tidak memiliki hukum pengungsian dan mendelegasikan tanggungjawabpenentuan siapa yang perlu dilindungi sebagai pengungsi kepada kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR, United Nations High Commissioner for Refugees).

Namun, bahkan bila pengungsi sudah memperoleh pengakuan sebagai pengungsi dari UNHCR, Indonesia masih sering menolak mengeluarkan mereka dari kamp pengungsian, dan tidak mengakui mereka sebagai pihak yang mempunyai hak legal untuk berada di dalam wilayah negaranya.  Kalau pun dikeluarkan dari kamp pengungsian, pengungsi dan pencari suaka, termasuk anak-anak, senantiasa menghadapi ancaman penangkapan atau masuk kamp pengungsian lagi.

Pencari suaka dan pengungsi yang dikeluarkan dari kamp pengungsian tidak dapat bekerja dengan legal atau bergerak bebas di dalam wilayah negara.  Anak-anak hampir tidak mempunyai harapan memperoleh pendidikan. Banyak yang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun menunggu kasus mereka diproses UNHCR.  Hanya sejumlah kecil yang akhirnya ditempatkan di negara ketiga.

Menurut HRW, Pemerintah Indonesia harus berhenti menahan pengungsi anak, harus membersihkan fasilitas kamp pengungsian, dan menerapkan proses yang adil dan komprehensif bagi pencari suaka.

Editor : Yan Chrisna


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home