Loading...
ANALISIS
Penulis: Benny Susetyo Pr 05:52 WIB | Sabtu, 12 Maret 2016

Di Manakah Wajah Agama?

Benny Susetyo Pr (kanan) bersama Gus Solah. (Foto: Dok. satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM - Tahta Suci Vatikan, Italia, menegaskan bakal menolak sumbangan umatnya yang berasal dari "uang kotor". Seperti dikutip dari situs Channel News Asia, pada hari Rabu, 2 Maret 2016, pemimpin umat Katolik dunia, Paus Fransiskus, mengatakan yang dimaksud "uang kotor" adalah uang yang diperoleh dengan menyalahgunakan pekerja yang dibayar rendah.

"Beberapa donor datang ke gereja dan menawarkan keuntungan dari 'darah' orang yang telah dimanfaatkan dengan tidak semestinya. Seperti dianiaya, diperbudak, sampai pekerja yang tidak dibayar sekali pun," kata Paus Fransiskus.

Ia pun tak segan-segan menolak dan mengusir pendonor tersebut jika ketahuan mendonorkan uangnya ke gereja dari hasil yang tidak halal. “Saya akan mempersilakan mereka untuk mengambil kembali uangnya, dan membakarnya," ujar Paus.

Menurutnya, bila benar-benar ingin dicintai Tuhan maka harus suci dalam mencari rezeki. "Umat Tuhan yang baik tidak perlu uang kotor. Mereka perlu hati yang terbuka untuk belas kasihan Tuhan," tutur Paus Fransiskus.

Paus, yang melabeli uang donor hasil tidak halal dengan slogan "kotoran iblis", mengutuk kejahatan kapitalisme yang tak terkendali serta mendorong kritik dari beberapa pebisnis Barat, utamanya Amerika Serikat.

Seruan Bapak Suci Paus Fransiksus itu mengajak kembali kepada inti agama untuk melakukan kebaikan dan menjauhkan hal sifat kotor dan bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mengajarkan kejujuran, kebenaran, kasih, serta menolak bentuk kejahatan yang bertentangan nilai-nilai dasar kemanusian. Agama kembali menjadi inspirasi batin melawan bentuk penghisapan, penindasan terhadap mereka yang miskin dan dengan menggunakan dalil ajaran agama membenarkan praktik penghisapan terhadap mereka yang lemah. Agama kerap mudah dipakai untuk membenarkan praktik kotor sebagai bagian ritual pencucian.

J Mayer mengingatkan betapa mudah agama dipolitisasi oleh kepentingan politik kekuasaan semata-mata dengan mereduksi makna terdalam nilai-nilai agama, membebaskan manusia dari kekerasan, ketamakan, dan kerakusaan. Orientasi agama harus dikembalikan pada Wajah Kasih Tuhan yang melayani mereka yang miskin, termarginalkan dan terus meneruskan upaya tata dunia berkeadilan.

Sementara bila kita tengok perilaku keagamaan kita beberapa waktu terakhir dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia, semangat penyejukan dan perdamaian yang dibawa agama tampak kering. Hampir pasti bahwa semangat tersebut meleleh karena perilaku sosial politik selama 70 tahun -semenjak merdeka- telah meracuni agama itu sendiri.

Agama dikerangkeng di dalam aturan-aturan yang monolitik, monoton, dan tentu saja berdampak tidak sehat. Aneh, perilaku orang beragama justru buas terhadap sesamanya. Norma kesopanan telah pudar dalam sanubari bangsa ini. Seolah-olah kita telah kehilangan jati diri sebagai orang beragama, sebagai bangsa beragama, sebagai makhluk beriman.

Karakter keimanan sebagai suatu substansi yang harus diraih, gagal kita bangun. Keimanan bukan untuk menyayangi makhluk lainnya, tetapi justru untuk membunuh, dengan segala macam cara. Adakah yang salah dalam cara kita beragama, berbangsa, berperikehidupan?

Mengapa bangsa kita hidup dalam ketidakberadaban karena membiarkan kekerasan demi kekerasan terus berlangsung tanpa ada usaha yang kuat untuk menghentikan praktik kekerasan itu sendiri? Sebagai bangsa yang beragama -bukan atheis- mengapa orientasi kehidupan kita hanya mampu mencetak manusia yang kerdil, haus kekuasaan, harta dan kemuliaan belaka?

Sebetulnya kita sedih menyimpulkan statement ini. Tapi kita tidak bisa mengelak bahwa sampai sejauh ini dalam kehidupan kebangsaan kita, kita sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan keberagamaan kita telah gagal membangun sebuah karakter keimanan. Seolah-olah kesucian hanya dilihat di sekitar tempat ibadat, di luar itu orang boleh melakukan praktik yang berlawanan dengan keimanan.

Kita lihat dalam praktiknya, keberagamaan kita menampilkan wajah kontras antara kesucian individual dan kesalehan sosial. Kesucian individual ini tak kunjung berubah menjadi kesalehan sosial. Realitas agama hanya terjebak pada dimensi kesalehan pribadi yang berorientasi pada kesucian perorangan.

Ukurannya hanya sekadar persembahan belaka, tetapi tidak mampu memperbarui perilaku sosial. Hal ini terjadi karena agama tidak mampu keluar dari persoalan identitas (logo) seperti di atas. Pemeluk agama masih terjebak pada persoalan kuantitas keimanan, bukan pada kualitas keimanannya. Agama hanya dihayati sekadar ritual belaka, tetapi dirinya terasing terhadap realitas kehidupan kemasyarakatan.

Agama jauh dari realitas kehidupan kemasyarakatan. Dia cenderung memikirkan dirinya sendiri dalam lingkup dogma, aturan, dan legalitas. Dia tak mampu melihat realitas masyarakat yang mengalami penindasan, pemerkosaan hak, dan penderitaan kaum tertindas yang termarginalisasikan oleh sistem pembangunan.

Agama gagal mempraktikkan iman yang memihak nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kesejahteraan. Mengapa agama bisa terasing dari realitas? Sebab hampir 40-an tahun agama dijadikan subordinasi politik Orba.

Agama hanya dimengerti sebagai ritus belaka dan berorientasi pada dogma an sich. Dengan demikian pemeluknya pun sekadar beragama formal dan fanatis. Ini membuat pemeluk agama menjadi picik dan mudah dijadikan potensi konflik.

Selama ini tanpa sadar cara beragama kita masih sekadar menjalankan kewajiban persembahan saja, bukan pada penghargaan hak-hak manusia lainnya. Penghayatan yang ritualistik ini melahirkan nilai keimanan yang kurang terwujud. Karena itulah perubahan orientasi keagamaan seharusnya lebih difokuskan kepada nilai-nilai kemanusiaan.

Dialog kemanusiaan ini akan membantu umat beragama memiliki kesadaran religiusitas yang berkualitas. Kualitas religiusitas inilah yang membawa nilai-nilai kemanusiaan semakin adil dan beradab. Ukuran beradab adalah bila terwujud solidaritas sosial yang universal, tanpa pandang bulu agama, etnis dan suku.

Ini terwujud bila umat beragama tidak terkurung dalam polemik yang hanya mempersoalkan perbedaan ajaran saja. Melainkan, di sisi lain, umat beragama harus berani meninggalkan egoisme dengan cara membangun komitmen kemanusiaan. Komitmen ini akan terwujud bila umat beragama jujur terhadap realitas dan jujur kepada Tuhan.

Jujur terhadap realitas adalah bahwa umat beragama memiliki bela rasa terhadap penderitaan umat manusia yang beda keyakinan. Dengan itu, maka umat beragama dipanggil untuk bela rasa terhadap korban, dalam bahasa yang sama yakni kemanusiaan. Lewat wujud bela rasa itulah umat beragama menjalankan agama yang berbelaskasih. Lewat tindakan yang tulus itulah dia sebenarnya.

Tuhan bukan butuh persembahan tetapi umat manusia yang bertindak adil bagi sesama. Tuhan akan muak dengan persembahan kita bila tangan kita penuh dengan darah, dan mulut kita penuh dengan pembualan dan dusta. Realitas itulah ditampilkan dalam wajah keagamaan saat ini. Akibatnya keagamaan yang seharusnya membebaskan manusia dari situasi keterasingan dalam realitas dirinya sendiri terasing.

Ajakan Bapak Suci Fransiskus mengembalikan agama pada peranannya sebagai penjaga moralitas publik menjadi inspirasi kita bersama, agar agama masuk dalam ruang publik untuk membersihkan ruang kotor lewat tindak dan keteladaan dari tokoh agama. Agama harus dikembalikan wajahnya, yakni berpihak pada nilai-nilai kemanusian dan memiliki hati terhadap mereka yang lemah, miskin, dan termarginalkan.

Paus Fransiskus secara simbolik sebenarnya mengajak gereja untuk berani bertobat agar gereja menjadi tanda sarana keselamatan bagi umat manusia. Gereja menjadi simbolik yang kredibel menjaga kekudusan. Ini awal bagi gereja untuk bertobat menyongsong masa Paskah.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home