Dominasi Ekonomi Tiongkok di Papua Nugini Jadi Perdebatan
PORT MORESBY, SATUHARAPAN.COM - Dominasi Tiongkok dalam pembiayaan pembangunan ekonomi di Papua Nugini jadi perdebatan sengit di parlemen tatkala Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill, menghadiri sidang parlemen untuk pertama kali di tahun 2018 ini, kemarin (06/01).
O'Neill mendapat pertanyaan bertubi-tubi pada saat tanya-jawab dari anggota parlemen Northwest, Sir Mekere Mourata, perihal pengaruh Tiongkok terhadap PNG, tentang perusahaan-perusahaan Tiongkok berkiprah di sektor-sektor yang dilindungi dan utang PNG dari Tiongkok.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, O'Neill menegaskan bahwa pemerintah PNG telah memperketat persyaratan bagi masuknya investasi Tiongkok. Di antaranya dengan memastikan bahwa konten lokal harus terkandung dalam setiap pinjaman dan proyek yang mereka jalankan di Papua Nugini.
O'Neill mengatakan bahwa kabinetnya telah memiliki daftar bidang usaha yang dikhususkan untuk pengusaha Papua Nugini, kebijakan yang dalam empat tahun terakhir, menurut dia, tidak diimplementasikan. Bidang usaha yang dicadangkan untuk pengusaha Papua Nugini antara lain toko perdagangan dan bisnis ritel.
O'Neill mengatakan bahwa pemerintahannya sesungguhnya hanya melanjutkan langkah pemerintahan sebelumnya, termasuk ketika Sir Mekere menjadi PM.
"Ini bukan satu-satunya pemerintah yang berbisnis dengan Tiongkok. Kami mengikuti jejak mantan pemerintah termasuk pemerintahan yang dipimpinnya (Sir Mekere). Dia telah melakukan banyak kunjungan ke Tiongkok, dia telah diterima cukup baik di sana, "kata O'Neill, dikutip dari PNG Today.
"Saya mengumumkan untuk mempromosikan bisnis negara ini. Banyak pemerintah di masa lalu meminjam dari Tiongkok. Persayratan yang mereka ikuti dulu, kita pegang juga pada hari ini. Dimana pinjaman lunak yang diterima dari Tiongkok memiliki persyaratan yang ditandatangani oleh pemerintah sebelumnya. Kami adalah satu-satunya pemerintah yang mencoba mengubahnya," kata O'Neill, membandingkan pemerintahannya dengan pendahulunya.
"Sebenarnya kita dalam perundingan yang sangat sulit hari ini dengan Pemerintah Tiongkok, berusaha memastikan bahwa kita membangun konten lokal ke dalam setiap pinjaman dan tentu saja proyek yang kita dapatkan dari Tiongkok, mencoba naik setidaknya 50 persen," Kata O'Neill.
"Ketika Menteri Richard Maru menjadi Menteri Perdagangan pada pemerintahan terakhir, dia membawa daftar bisnis yang diproteksi untuk pengusaha PNG. Kabinet telah mengesahkannya, pejabat diperintahkan untuk memberlakukannya, pejabat yang bertanggung jawab untuk ini."
"Terkadang juga kita mendapati bahwa warganegara kita sendiri tidak hanya mengundang pengusaha Tiongkok tapi juga warga negara asing untuk melakukan bisnis. Terkadang, mereka menyewakan tanah mereka sendiri karena mereka sendiri tidak ingin berbisnis tapi mereka ingin menjadi tuan tanah - ini adalah hal yang harus kita batasi di seluruh negeri, " kata O'Neill.
"Kami melakukan segala kemungkinan untuk memastikan bahwa kepentingan Papua Nugini sangat penting dan kami tidak meminjam uang seperti pemerintah terakhir - untuk secara harfiah mendanai anggaran."
"Apa yang kita pinjam dari Tiongkok adalah kita membangun infrastruktur, jalan, jembatan, bandara, pelabuhan dan itulah yang akan dinikmati orang rakyat Papua Nugini selama bertahun-tahun yang akan datang."
"Jika kita tidak membangun infrastruktur hari ini, kita memiliki populasi yang meningkat, siapa yang akan membangun infrastruktur untuk Anda? Kita tidak memiliki cukup uang dalam anggaran kita untuk mendanai infrastruktur berskala besar."
"Kelalaian (pemerintah masa lalu) yang ditinggalkan adalah hasil dari apa yang kita lihat sekarang. Kelalaian pemerintahan masa lalu adalah apa yang kita tempuh. Berhentilah merengek terus-menerus sepanjang waktu," kata O'Neill.
Dominasi ekonomi Tiongkok di Papua Nugini belakangan menjadi sorotan termasuk oleh Australia. Investasi Australia di bekas negara jajahannya itu belakangan stagnan bahkan cenderung keluar.
Ian Chow, seorang pengusaha warganegara Australia berdarah Tionghoa tetapi sudah lama bermukim di Papua Nugini, mengatakan ia mempekerjakan kontraktor Tiongkok membangun usahanya di bidang manufaktur makanan di Papua Nugini karena alasan biaya yang lebih murah. Mendatangkan pekerja Australia ke Papua Nugini, menurut dia, jauh lebih mahal.
Menurut dia banyak pengusaha Australia yang meninggalkan Papua Nugini. "Mereka tidak ingin datang ke sini dan mereka meninggalkan kekosongan besar yang diisi oleh orang-orang Tiongkok," kata dia.
"Di hampir semua bisnis besar, mereka yang mengerjakan konstruksinya, mereka bahkan telah menguasai bisnis ritel," kata dia.
ABC News.
Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato, memastikan bahwa kendati pengaruh Tiongkok meningkat di Papua Nugini, negara itu tetap menganggap Australia sebagai sahabat dekat dan dapat diandalkan.
Editor : Eben E. Siadari
D'Masiv Meriahkan Puncak Festival Literasi Maluku Utara
TERNATE, SATUHARAPAN.COM - Grup band papan atas tanah air, D’Masiv hadir sebagai guest star da...