Loading...
DUNIA
Penulis: Bayu Probo 22:10 WIB | Kamis, 15 Agustus 2013

Dubes Palestina untuk Indonesia Optimis Perundingan Damai Menguntungkan Bangsanya

Dubes Palestina untuk Indonesia Optimis Perundingan Damai Menguntungkan Bangsanya
Fariz Mehdawi, Duta Besar Negara Palestina. Tampak di latar belakang, foto mendiang Yasser Arafat (foto-foto: Bayu Probo).
Dubes Palestina untuk Indonesia Optimis Perundingan Damai Menguntungkan Bangsanya
Bendera Palestina berkibar di halaman Kedutaan Besar Palestina.
Dubes Palestina untuk Indonesia Optimis Perundingan Damai Menguntungkan Bangsanya
Kedutaan Besar Negara Palestina di Jl. Diponegoro 59, Jakarta Pusat.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - “Dimulainya perundingan ini adalah salah satu kemenangan diplomasi Palestina,” kata Duta Besar Palestina untuk Indonesia di kantornya Kamis (15/8) sore. Dalam wawancara khusus dengan satuharapan.com, Fariz Mehdawi menegaskan bahwa posisi baru Palestina dalam Majelis Umum PBB, dari entitas menjadi negara pengamat non-anggota, membuat Israel terpaksa mau diajak duduk di meja perundingan. Bahkan menurutnya, dibebaskannya 26 tahanan warga Palestina —yang ditahan pasca perjanjian Oslo— adalah bagian dari syarat dari Palestina untuk memulai perundingan kembali.

Berikut ini adalah wawancara satuharapan.com dengan laki-laki berputra dua ini.

satuharapan.com: Apakah status baru Palestina di PBB sebagai negara non-anggota menguntungkan posisi perundingan kali ini?

Fariz Mehdawi: Tentu saja. Ini adalah pengakuan terpenting dari dunia internasional terhadap keberadaan negara Palestina. Pada 29 November 2012, Majelis Umum PBB meloloskan mosi mengubah status Palestina menjadi  negara pengamat non-anggota PBB dengan 138 suara menerima, sembilan menentang dan 41 abstain. Pengakuan ini bahkan lebih banyak daripada pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Israel.

Posisi ini penting karena Palestina bisa menjadi anggota berbagai badan-badan di bawah naungan PBB. UNESCO, UNICEF, bahkan termasuk Mahkamah Internasional. Palestina berhak mengajukan gugatan terhadap negara lain melalui Mahkamah Internasional. Ini berarti semua tentara atau polisi yang melakukan kekerasan terhadap rakyat Palestina dapat diadili di Mahkamah Internasional. Ini menakutkan bagi Israel. Oleh karena itulah mereka mau berunding.

Perjuangan untuk diakui PBB ini tidak mudah. Sejak 2009, Berkali-kali kami mengajukan diri menjadi anggota PBB melalui Dewan Keamanan PBB, berkali-kali pula Amerika Serikat memveto permohonan kami. Maka, kami pun mengambil jalan lain melalui Majelis Umum.

satuharapan.com: Apa saja yang menghambat perundingan damai kali ini?

Fariz Mehdawi: Sikap Israel yang melanggar berbagai kesepakatan sebelumnya itulah yang paling menghambat. Misalnya, dalam Perjanjian Oslo, diputuskan seluruh tentara Israel ditarik dari Gaza dan Tepi Barat. Namun, walaupun Israel menarik pasukan mereka, blokade dipasang di mana-mana sehingga tidak ada akses bagi kami untuk melakukan keseharian. Itu mematikan ekonomi, kehidupan sosial, dan semua aspek kehidupan rakyat Palestina. Akses terhadap pelayanan kesehatan pun terhambat.

Israel sengaja memperberat kehidupan rakyat Palestina sebagai provokasi agar kami marah dan terpancing untuk melakukan tindakan bodoh, kekerasan. Sehingga, mereka bisa berkoar-koar ke mana bahwa Palestina adalah negara teroris. Termasuk baru-baru ini saat Netanyahu memutuskan untuk membangun 2.000 pemukiman baru di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Namun, kami tidak terpancing. Dahulu, kami akui, kami pernah melakukan kekerasan. Dan hasilnya? Semua itu tidak menguntungkan. Tindakan kami waktu itu tidak mendapat dukungan internasional. Kini, kami melakukan diplomasi damai dan itu jauh lebih efektif. Kami tidak mau diprovokasi karena itu berarti masuk ke permainan mereka. Seharusnya, mereka yang ikut kami. Kami sudah menaati semua hasil perundingan sebelumnya, giliran Israel yang harus tunduk pada janji yang mereka buat sendiri. Ini demi martabat mereka sendiri.

Sebab, negara-negara yang mengakui kami sebagai negara, mengakui juga wilayah kami sesuai dengan batas wilayah 1967. Termasuk jika ada sebagian wilayah yang diduduki kami izinkan diambil Israel, perlu diganti tanah lain dengan luas setara.

Selain itu, kami menekankan kembalinya Yerusalem Timur kepada rakyat Palestina. Ini harga mati. Yerusalem Timur masuk wilayah Tepi Barat. Yerusalem Timur adalah identitas Palestina. Selain itu, tidak ada satu negara pun yang mengakui keberadaan Yerusalem sebagai ibukota Israel. Tidak ada satu kedutaan dari negara mana pun yang berada di Yerusalem. Kami tidak mempermasalahkan Yerusalem dikelola bersama, tetapi secara politik harus ditegaskan Yerusalem Timur terpisah dari Yerusalem Barat.

Juga, masalah keamanan masing-masing negara perlu dibicarakan. Termasuk kembalinya 4 juta pengungsi yang tersebar di berbagai negara. Itu tuntutan kami. Dalam, negosiasi akhir-akhir ini kami mengejar solusi win-win, bukan win-lose atau bahkan lose-lose.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home