Efek Resolusi dan Deklarasi Jakarta KTT OKI Meragukan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa Organisasi Kerja sama Islam (KTT LB OKI) yang diselenggarakan sejak hari Minggu (6/3) hingga Senin (7/3) telah mengeluarkan resolusi berisi seruan politik dan Deklarasi Jakarta yang memuat langkah-langkah konkrei demi penyelesaian masalah Palestina dan Yerusalem.
Pengamat Timur Tengah, Novriantoni Kahar, mengatakan dampak resolusi dan Deklarasi Jakarta KTT OKI hanya akan bermanfaat sebagai dukungan tambahan bagi internal Palestina. Namun, pada level eksternal, misalnya di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), dia tidak yakin hal tersebut akan bermanfaat.
Sebab, menurutnya, terdapat persoalan pelik terkait isu Palestina di level eksternal. Sementara, Novriantoni menilai KTT LB OKI hanya sebatas pernyataan retoris semata, yakni kemerdekaan Palestina. “Status Palestina pelik, KTT LB OKI bagus sebagai imbauan, meminta faksi Hamas dan Fatah bersatu, namun tidak ada konsensus untuk penyelesai yang lebih detail lagi,” kata Novriantoni saat dihubungi satuharapan.com, dari Jakarta, hari Senin (7/3).
Novriantoni mencotohkan, untuk mendamaikan Palestina dan Israel, OKI belum memiliki satu suara dalam memilih solusi yang tepat, one-state solution atau two-state solution. Menurut dia, bila sudah membahas hal tersebut, akan terjadi perbedaan pendapat di dalam internal OKI sendiri.
“Jadi OKI hanya pada tahapan makro saja, kemerdekaan Palestina. Tapi tidak ada konsensus yang konkret di dalam negara Muslim sendiri,” ujar dia.
Kirim Utusan
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Maman Imanulhaq, berpendapat Indonesia seharusnya dapat membangun komunikasi lebih intensif dengan Israel. Sebab, menurutnya, Israel adalah negara yang penuh ketakutan yang kemudian menunjukkan ketakutan itu dengan menjajah wilayah Palestina.
“Sepertinya Israel sudah tidak mau ditekan, Israel mau didengar juga apa yang menjadi permasalahan mereka,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, lewat KTT LB OKI, seharusnya Indonesia mengambil sikap untuk mengirim utusan melakukan lobi dengan Israel. Maman melihat, saat konflik di Timur Tengah tidak kunjung berakhir, Indonesia sebagai negara yang mampu menggabungkan pluralisme dan nasionalisme bisa mengambil posisi di garis terdepan perjuangan kemerdekaan Palestina.
“Oleh karena itu, Indonesia tidak boleh diganggu dengan isu Sunni dan Syiah, atau terjebak dalam isu Arabisasi, karena itu isunya Timur Tengah. Kita juga tidak boleh terjebak dalam isu penghancuran gereja,” tutur Maman.
Peran Lebih Strategis
Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mengatakan sebagai wadah kerja sama negara Islam di dunia, OKI seharusnya memiliki peran strategis dalam mendorong proses percepatan kemerdekaan Palestina. Sebab, pendirian OKI merupakan rekasi atas kekalahan negara-negara Arab dalam perang Arab –Israel 1967, dimana Israel berhasil menduduki Palestina.
"Hasil dari KTT OKI ini,juga akan memperkuat Declaration on Palestine yang dihasilkan dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Indonesia pada bulan April 2015 yang lalu," ucapnya.
Fadli juga menyoroti peran strategis Indonesia di OKI. Dia menilai, Indonesia memiliki peran yang strategis. Sebab, meskipun Indonesia bukan negara Muslim, Indonesia adalah negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
"Saat ini di Palestina juga sudah ada Rumah Sakit Indonesia,yang dibangun atas kerjasama seluruh masyarakat Indonesia.Semoga pasca OKI nanti,selain resolusi dan Deklarasi Jakarta,dapat muncul bentuk bantuan nyata lainnya dari negara negara anggota OKI," ucapnya
Hasil KTT LB OKI
KTT LB OKI telah resmi ditutup oleh Presiden Joko Widodo, hari Senin (7/3). Para pemimpin negara yang tergabung dalam OKI pun sepakat dan merencanakan aksi nyata bagi penyelesaian konflik Palestina melalui dua dokumen, yakni resolusi dan Deklarasi Jakarta.
OKI mendesak Israel mengakhiri pendudukan dan mewujudkan negara Palestina berdasarkan prinsip solusi dua negara.
Deklarasi Jakarta berisi tentang inisiatif Indonesia yang memuat rencana aksi konkret para pemimpin OKI untuk penyelesaian isu Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.
Selain itu ada juga dihasilkan resolusi atas sejumlah persoalan yang di antaranya adalah sengketa batas wilayah Palestina sejak diduduki Israel pada 1967, status resmi Yerusalem sebagai kota suci bagi agama Yahudi, Kristen dan Islam, termasuk keamanan dan pembatasan umat Muslim untuk beribadah di Masjid Al-Aqsa.
"Akses umat Islam ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem dibatasi. Rakyat Palestina semakin tidak berdaya. Situasi kemanusiaan di wilayah-wilayah pendudukan semakin memburuk," kata Presiden Jokowi dalam pidatonya.
Presiden Jokowi pun menegaskan, Indonesia dan Dunia Islam siap melakukan langkah-langkah tegas dan konkrit untuk terus mendesak Israel mengakhiri penjajahannya atas Palestina dan menghentikan kesewenangannya di Al-Quds Al-Sharif.
Editor : Bayu Probo
Tanda-tanda Kelelahan dan Stres di Tempat Kerja
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Stres berkepanjangan sering kali didapati di tempat kerja yang menyebabka...