Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 17:04 WIB | Senin, 20 Juni 2016

Ekonom UI Bantah Indonesia Negara Gagal Fiskal

Ekonom Ari Kuncoro. (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ekonom Universitas Indonesia, Ari Kuncoro, membantah Indonesia dalam situasi negara yang gagal fiskal. Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini, situasi yang terjadi saat ini Indonesia adalah proyeksi penerimaan pajak yang terlalu tinggi di saat kegiatan perekonomian sedang turun.

“Saya rasa kalau gagal fiskal enggak. Yang terjadi sekarang adalah kita itu memproyeksikan penerimaan yang terlalu tinggi dan itu dilakukan pada saat kegiatan perekonomian sedang turun,” kata Ari Kuncoro menjawab pertanyaan satuharapan.com, di Audiotorium Kementerian Perdagangan, Jakarta, hari Senin (20/6).

“Kalau disebut gagal enggak. Karena apa? Dengan cepat kita menyesuaikan yaitu dengan pemotongan anggaran,” dia menambahkan.

Menurut Ari, gagal fiskal itu terjadi saat rencana penerimaan pajak tinggi namun pajak yang diharapkan lebih rendah, lalu pengeluaran tidak bisa dipotong, sehingga menambah utang.

“Nah kalau gagal fiskal itu adalah sudah merencanakan penerimaan tinggi pajaknya, (tapi) pajak tidak datang, lebih rendah, terus dia tidak bisa motong, karena pengeluarannya tidak bisa dipotong. Nah itu disebut gagal. Jadi dia harus utang ke mana-mana.”

“Kalau kita enggak, adjustment, penyesuaiannya ada. Memang nanti kemungkinan besar pertumbuhan harus lebih didukung oleh sektor konsumen atau sektor swasta. Jadi kalau disebut gagal fiskal, enggak,” dia menegaskan.

Terancam Gagal Fiskal

Sebelumnya, M Ikhsan Modjo, Wakil Sekjen Partai Demokrat, dalam tulisannya pada harian Kompas, edisi 17 Juni 2016, mengatakan, Indonesia berpotensi mengalami gagal fiskal pada 2016 jika tidak segera melakukan perbaikan fundamental pada RAPBN-P 2016, yang kini dibahas pemerintah dan DPR.

Gagal fiskal, yang ia maksud adalah suatu kondisi di mana postur penerimaan, belanja, dan pembiayaan negara tak mematuhi disiplin dan kepatutan ekonomi yang digariskan aturan perundang-undangan.  Ikhsan mencontohkan, pemerintahan Obama mengalami kegagalan fiskal pada 2013 akibat kegagalan mematuhi ketentuan batas maksimal rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), yang berujung pada Fiscal Shutdown di AS.

“Di Brasil, gagal fiskal berakibat lebih ekstrem, pemakzulan terhadap Presiden Dilma Rousseff yang dianggap melanggar ketentuan konstitusi tentang disiplin mekanisme pembiayaan fiskal,” kata Ikhsan.

Ikhsan melihat postur kasar RAPBN-P 2016 yang diajukan pemerintah menunjukkan penurunan anggaran  dari Rp 1.822 triliun pada APBN 2016 menjadi Rp 1.734 triliun pada RAPBN-P 2016. Ini terjadi akibat merosotnya penerimaan negara sebesar Rp 88 triliun.

Susutnya penerimaan ini dikompensasi dengan pengurangan belanja sebesar Rp 48 triliun dan tambahan pembiayaan utang Rp 40 triliun. Namun, pengurangan belanja tak sebanding dengan penurunan penerimaan negara. Ini menyebabkan meningkatnya rencana defisit anggaran di 2016, dari Rp 273 triliun atau 2,15 persen dari PDB menjadi Rp 313 triliun atau 2,48 persen dari PDB. 

Menurut Ikhsan, rencana defisit anggaran ini secara faktual terhitung konservatif. Sebab, realisasi defisit tahun fiskal berjalan sampai Mei 2016 saja sudah mencapai Rp 189,2 triliun, atau 69,3 persen dari target Rp 273 triliun hingga akhir tahun. Angka ini membengkak hampir tiga kali lipat dibandingkan realisasi defisit pada waktu yang sama di tahun sebelumnya, sebesar Rp 71,2 triliun atau 32 persen dari target.

Lebih lanjut, dia mengatakan, dari simulasi yang dilakukan, realisasi defisit akan mendekati Rp 500 triliun akhir 2016 atau 4,1 persen terhadap perkiraan angka PDB. Itu artinya melewati batas maksimal 3 persen yang diamanatkan UU Nomor 17 Tahun 2003 (UU Keuangan Negara). Apabila ini terjadi, menurut dia, Indonesia  terancam mengalami gagal fiskal.

Menurut Ikhsan, pemerintah memang mengantisipasi kemungkinan ini dengan menyiapkan kebijakan pengampunan pajak pada RAPBN-P 2016. Pengampunan pajak tersebut menargetkan tambahan penerimaan Rp 165 triliun untuk mencegah menggelembungnya angka defisit. Namun, menurut Ikhsan, kebijakan ini memiliki beberapa kelemahan. Satu di antaranya, asumsi tambahan penerimaan Rp 165 triliun yang dianggap terlampau optimistis. Padahal, beberapa lembaga, termasuk Bank Indonesia, memperkirakan penerimaan dari amnesti pajak paling tinggi Rp 60 triliun.

Dengan kata lain, ada risiko kekurangan penerimaan negara sekitar Rp 100 triliun, yang dapat membuat gagal fiskal karena rasio defisit terhadap PDB mencapai 3,6 persen.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home