Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 13:35 WIB | Senin, 13 Februari 2017

Fraksi PKS Ikut Gulirkan Hak Angket Pengangkatan Ahok

Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini. (Foto: Dok.satuharapan.com/Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengangkatan kembali Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta padahal menyandang status terdakwa mengundang kontroversial di publik. Hal itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang dan mencederai Indonesia sebagai negara hukum.

Merespon kebijakan Pemerintah tersebut, Fraksi PKS DPR RI secara resmi ikut menggulirkan Hak Angket DPR. Penggunaan Hak Angket juga digulirkan oleh Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PAN.

Menurut Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, DPR perlu merespon kritik yang meluas di masyarakat atas pengangkatan Ahok tersebut, dan cara yang paling tepat dan konstitusional untuk mempertanyakan itu adalah menggunakan Hak Angket DPR.

“Fraksi PKS bersama Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PAN resmi menggulirkan Hak Angket Dewan ini agar Pemerintah bisa menjelaskan kepada publik tentang landasan hukum pengangkatan kembali saudara Ahok, sehingga jelas dan tidak ada kesimpangsiuran,” kata Jazuli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Senin (13/2).

Selanjutnya, kata Jazuli,  inisiator akan menggalang dukungan Anggota DPR lintas Fraksi agar Hak Angket ini dapat segera diproses secara kelembagaan DPR.

Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-Undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.

Berbagai pihak mulai tokoh masyarakat hingga pakar hukum tata negara menilai pengangkatan kembali Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta cacat yuridis karena bertentangan dengan Pasal 83 Ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Bunyi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) itu adalah: pertama, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, lanjut Jazuli, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.

Ketiga, pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Wali Kota dan/atau Wakil Wali Kota.

Berkenaan dengan itu, status Ahok saat ini adalah terdakwa penistaan agama dengan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu, yang bersangkutan didakwa pasal 156a dan 156 KUHP tentang penodaan agama dengan hukuman penjara lima tahun dan empat tahun.

Pemberhentian sementara ini juga bukan kali pertama tapi sudah lazim dilakukan sebelumnya, seperti kasus Bupati Bogor, Gubernur Sumatera Utara, Gubernur Banten, Wakil Walikota Probolinggo, Bupati Ogan Ilir, Bupati Subang, dan lain-lain. Semuanya diberhentikan tidak lama setelah yang bersangkutan berstatus sebagai terdakwa. Tanpa harus menunggu dan bergantung pada tuntutan (requisitor) yang diajukan jaksa di persidangan.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home