Loading...
OPINI
Penulis: Martin Lukito Sinaga 21:08 WIB | Jumat, 17 April 2020

Friksi Teologi di Era Pagebluk

Catatan atas Tulisan Pdt. Albertus Patty

SATUHARAPAN.COM – Di momen Paskah barusan, Pendeta Albertus Patty (selanjutnya: Pdt. Berty) menulis tentang peta friksi teologi yang berkembang di Indonesia. Friksi itu tampak mengemuka karena saat ini kita mengalami wabah atau pegebluk coronavirus atau Covid-19; posisi teologi cukup menentukan di era ini, sebab keyakinan iman yang diwacanakan (kurang lebih inilah arti ”teologi”) akan mendorong tindakan tertentu.

Bahkan ada yang fatal dalam berteologi. Seorang pemimpin gereja di Virginia—Gereja New Deliverance Evangelistic Church—Amerika, yang membandel saat diminta meliburkan ibadahnya, lalu mengeluarkan sikap teologisnya (katanya ”saya percaya Tuhan lebih besar dari coronavirus”) telah menjadikan ibadahnya suatu ruang beresiko bagi ratusan orang. Istrinya pun terpapar coronavirus, dan malah pastor itu sendiri minggu lalu meninggal dunia akibat virus tersebut (cnn.com/2020/04/14/us/bishop-gerald-glenn-god-largercornoavirus/indeks.html).

Tulisan Pdt. Berty tampaknya berlatar suasana sedemikian, dan hal itu terjadi juga di tanah air kita. Kita telah mendengar bahwa sejumlah ibadah gereja menjadi cluster penularan. Pdt. Berty mensinyalir bahwa teologi termasuk biang kerok suasana di atas, dan selanjutnya memperparah penanganan pagebluk tersebut. Akibat teologi tertentu, maka banyak gereja yang terus beribadah walau sudah dihimbau menutup kebaktiannya. Teologi yang serta merta yakin bahwa penyembuhan terjadi dalam ibadah, justru bisa mencelakakan umatnya. Bagi Pdt. Berty, suatu model teologi karismatis tampaknya mengarahkan jemaat pada sikap serba-yakin-saja di atas (apalagi katanya pendetanya telah berkali-kali mengunjungi sorga, sic!).

 

Friksi

Saya senang dengan judul friksi dalam tulisan Pdt Berty yang ramai dibaca orang itu, juga ”YTB GKI TV” telah mengulasnya. Namun, maksud kata ”friksi” tak beliau jelaskan, sehingga saya ingin memperluas maknanya di sini. Kebetulan saya mengajar teori poskolonial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dan memakai gagasan karya Anna L. Tsing (salah satu bukunya diterbitkan Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan: Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing, 1998). Salah satu gagasan dan bukunya diberi judul FRICTION.

Dengan friksi (atau gesekan) kita jadi sadar bahwa keadaan atau medan yang ada di hadapan kita kini menuntut keterlibatan. Tanpa medan yang menuntut, tak ada friksi, yang ada mungkin hanya isolasi diri. Namun, karena medan pagebluk ini menuntut tindakan (dan tindakan itu perlu memiliki dasarnya), maka terjadilah friksi tersebut. Apalagi, salah satu unsur penyebab friksi dalam kehidupan—tandas Anne Tsing—ialah orang perlu memasuki front; pagebluk kita ini mau tak mau menuntut siapa pun mengambil posisi frontier. Harus bersikap dan bertindak. Dan saat posisi-posisi itu menegaskan dirinya di medan Covid-19 ini, tentu mau tak mau mereka akan bergesekan di medan kehidupan. Di situlah terjadi friksi.

Jelas sekali PGI misalnya mengambil front ”Pelatihan Penyemprotan disinfektan” yang melayani publik seluas-luasnya. Baik gereja dan juga mesjid dilayani. Bahkan dalam seruan Paskah 12 April 2020, Sekum PGI Pdt. Jackyvelyn Manuputty secara gamblang melalui media TVRI berharap agar gedung gereja rela dijadikan ruang isolasi bila terjadi keadaan mendesak. Dasarnya teologis: Pesan kehidupan dalam Paskah mendorong kita merawat kehidupan yang telah dimenangkan-Nya itu. Dan dalam konteks kini, selain tinggal di rumah dan hidup sehat, orang Kristen perlu terlibat menjaga kehidupan sebaik-baiknya dari wabah Covid-19.

Kembali ke gagasan Pdt. Berty, suatu sikap teologis yang mengira bahwa semua soal akan tuntas dengan ibadah dan khotbah-khotbah penyembuhan, tentu akan bergesekan di medan pagebluk. Dan menurut saya suatu kejernihan teologis mau tidak mau harus diajukan hari-hari ini. Sekalipun dengan nada yang meninggi karena taruhannya ialah kehidupan bersama kita.

 

Friksi Teologi Indonesia

Di atas dicatat bahwa Pdt. Berty melihat pemikiran karismatik sebagai salah satu yang telah masuk ke medan pagebluk ini, dan langsung menciptakan friksi. Namun, beliau juga menambahkan semacam sekularisme sebagai pemain lainnya. Tentu garda depan di era pagebluk ialah para saintis dan paramedis. Mungkin di Barat mereka cenderung menganut sekularisme dan mengolok-olok agama. Akan tetapi, di Indonesia tampaknya paramedis kita cukup religius.

Tentu ada soal friksi di sini, tetapi itu membutuhkan pendalaman terkait relasi agama dan sains. Atau, Pdt. Berty menduga bahwa banyak orang diam-diam hanya yakin pada ilmu kedokteran saja, sehingga para ilmuan eksakta terkesan mentang-mentang hari-hari ini kalau memberi pendapat. Seolah modelling matematis yang mereka kembangkan sudah dengan sendirinya dapat meramal jumlah yang akan mati akibat Covid-19 di bulan Mei nanti! Namun, tentu ilmuwan Indonesia tidak sejauh itu keyakinannya.

Lalu Pdt. Berty mengajukan front lain, yaitu kelompok Moderat, yang katanya berlatar aliran Calvinis (saya yang dari gereja Batak jadi ingin angkat tangan dan berseru, ”Juga aliran Lutheran!” Dalam hati saya, malah kami yang Lutheran ini yang secara teologis lebih mungkin moderat karena menganut teologi Dua Pemerintahan Allah—zwei Reiche—yang terkenal, tetapi problematis itu). Namun, saya jadi ingat tulisan Pdt. Eka Darmaputra di Warta Jemaat GKI Bekasi Timur puluhan tahun lalu, katanya, ”bahwa sekalipun GKI itu berteologi Calvin dan Reformatoris, tetapi bukan teologi Reformed abad XVI!”.

Saya menangkap keresahan Pdt. Eka Darmaputera itu karena dari kelompok Calvinis (juga Lutheran, yang sama-sama bertolak dari Reformasi abad 16 di Eropa) bisa mencul sayap konservatifnya. Dan itu juga ternyata telah ikut masuk dalam friksi teologis di Indonesia. Bahkan telah terjadi debat, sebab sayap konservatif dari Calvinisme ini cenderung hanya menekankan ajaran dan mengkritik, bahkan menuduh ada soal kesesatan dalam pendakuan penyembuhan karismatis di atas.

Bagi mereka, semua hal harus secara alkitabiah dijelaskan dan diukur, dan makna iman Kristen terutama pada posisi beriman yang kokoh pada ajaran. Ada kecenderungan bahwa dosa dan ketidaktaatkan dikaitkan dengan situasi pagebluk ini. Kesediaan teologi konservatif ini memahami kompleksitas kehidupan, atau aspek evolusi lingkungan hidup yang rusak yang membuat virus bisa meloncat dari binatang ke manusia (kita tahu Covid-19 adalah jenis zoonosis), agak diabaikannya. Jadilah percakapan iman serbadoktriner dan menghakimi dari mereka.

Karena itu, baiklah kalau teologi Reformasi yang sungguh kontekstual terus dikembangkan. Dalam arti ia perlu terus menemukan dan mewacanakan karya Allah itu seturut dan di dalam realitas pagebluk itu. Di setiap upaya merawat hidup, menjaga kesehatan dan berbagi kehidupan, di situlah iman akan menemukan percakapannya. Tentu tugas utama para teolog Reformasi-Kontekstual itu ialah mendengar perjuangan, harapan dan kesembuhan, bahkan ketakutan setiap insan yang menghadapi pagebluk ini, dan dengan hati yang welas-asih kiranya bisa juga mendengar apa yang Tuhan katakan untuk kita. Namun, ini pun salah satu model memasuki front dan medan pagebluk di negeri kita.

 

Martin Lukito Sinaga (Pendeta Gereja Kristen Protestan Simalungun; Dosen Luar Biasa di STFT Jakarta dan STF Driyarkara)   

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home