Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 17:10 WIB | Rabu, 30 April 2014

FSGI: Kembalikan Standar Kelulusan ke Sekolah

(ki-ka) Dewan Pertimbangan FSGI serta pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A.; Ketua Dewan Pengurus YCG, Henny Supolo Sitepu; Presidium FSGI, Guntur Ismail; Sekretaris Jenderal FSGI, Retno Listiyarti. (Foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menganggap Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak layak dijadikan standar penentu kelulusan siswa, karena yang jauh lebih memahami anak didik bukanlah pemerintah, melainkan guru dan sekolah. 

Berdasarkan survei lembaga internasional, seperti PISA (Programme for International Student Assessment), membuktikan dari 65 negara yang disurvei, pendidikan Indonesia ada di urutan 62, sedangkan Malaysia saja berada di urutan 52.

Pendidikan Indonesia seburuk pendidikan di negara Brasil dan Meksiko, berdasarkan hasil analisa lembaga internasional Pearson. Padahal Mendikbud mengatakan kelulusan UN tahun 2012 dan 2013 mencapai 99 persen.

Sekretaris Jenderal FSGI, Retno Listiyarti mengatakan pendidikan Indonesia perlu penghapusan UN sebagai penentu kelulusan, penentu masuk sekolah dan perguruan tinggi. “Sekarang UN lulus 99 persen di seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Terus masalahnya di mana, kan lulus semua? Itu artinya ada kecurangan, sayangnya tidak terpetakan,” kata Retno di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa (29/4).

Retno berpendapat, seharusnya UN hanya dijadikan sebagai pemetaan, bukan penentu kelulusan. Misalnya jika di suatu sekolah banyak yang tidak lulus UN Bahasa Inggris yang disebabkan tidak punya lab bahasa, maka pemerintah harus merespons dengan mengadakan lab tersebut. Atau, contoh lainnya misalnya di satu sekolah nilai matematika siswa jelek, setelah ditemukan guru matematikanya tidak baik, maka diberikanlah pelatihan yang mumpuni bagi guru tersebut.  

World Bank tahun 2012 turut melakukan penelitian terhadap guru di Indonesia, dan lagi-lagi terbukti pendidikan kita rendah kualitasnya. Berdasarkan Uji Kompetensi Guru (UKG), dari syarat kelulusan dengan  nilai minimal 7, tetapi guru di Indonesia rata-rata nilainya 4,3.

Tidak Ada Prioritas

Apa yang disampaikan Retno, didukung oleh Dewan Pertimbangan FSGI serta pemerhati pendidikan, Doni Koesoema. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan kita saat ini mengalami kemunduran karena tidak ada prioritas, sehingga pendidikan seperti tidak mempunyai tujuan.

Terlebih, sistem evaluasi dari kurikulum 2013 adalah sistem yang menghilangkan seluruh proses pembelajaran, yaitu UN. Sampai sekarang menurut Doni tidak ada dasar ilmiah dan psikometrik, maupun teori assessment yang membenarkan pemikiran Menteri Pendidikkan dan Kebudayaan, M. Nuh dalam menggunakan UN sebagai pengukur kualitas pendidikan, dan penentu kelulusan.

“Seharusnya kondisi fasilitas juga diperhatikan sebelum menetapkan UN sebagai penentu kelulusan. Di Papua, angka kelulusannya hampir sama seperti di Yogyakarta. Padahal seperti kita ketahui, fasilitas sekolah di Papua masih banyak kekurangan, misalnya tape recorder untuk ujian Bahasa Inggris, sampai guru-gurunya yang sering tidak masuk mengajar. Tetapi, karena para guru tidak tega jika anak didiknya tidak lulus, maka dibantulah mereka dengan membelikan kunci jawaban.

Seperti diketahui, pelaksanaan UN tahun ini meurut FSGI diwarnai dengan maraknya pembelian kunci jawaban soal UN. Tahun lalu seharga Rp 6 juta di Jakarta, tahun ini mencapai Rp 14 juta. Bahkan tim sukses yang tahun lalu hanya melibatkan pihak sekolah, tahun ini diduga turut melibatkan Dinas Pendidikan di masing-masing daerah.

UN Diprotes Siswa

FSGI telah membuka posko pengaduan sejak 2011. Berbagai cara pengaduan dilakukan anak sekolah yang merasa dikorbankan terhadap penyelenggaraan UN. Retno menyampaikan berbagai keluhan siswa, baik yang diterima dari email, media sosial seperti facebook, sampai yang dilayangkan ke akun twitter M. Nuh langsung, yang kemudian akun tersebut ditutup karena banyaknya kritik.

“Pada UN Bahasa Inggris sesi listening dianggap sulit karena suara dari speaker terlalu kecil, UN Bahasa Indonesia juga sulit karena pilihan jawabannya hampir mirip semua. Untuk soal Biologi juga diadukan jika siswa lulus itu hanya faktor untung-untungan, karena ada yang dapat soal tingkat sulit, ada yang dapat soal mudah,” sesal Retno.

“Selain itu, ada siswa yang pernah ikut olimpiade, dan soal tingkat olimpiade itu ternyata muncul di UN Kimia. Padahal untuk mengerjakan satu soal olimpiade saja butuh waktu berjam-jam dan perlu dipraktikkan dengan menggunakan alat laboratorium,” dia menambahkan.

Bertolak belakang sekali jika Indonesia menengok sistem ujian seperti di Singapura. Ujian kelulusan sekolah sampai ujian masuk perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Tetapi, Indonesia diadakan oleh pemerintah sendiri, yang ditengarai terjadi banyak kecurangngan meskipun kelulusan dikatakan mencapai 98 persen.

“Pemerintah yang menyelenggarakan UN, menerima pengaduan, sampai membuktikan kebenaran pengaduan semua itu tidak terbukti. Ini kan sudah salah, masak pemain jadi wasit, tentu tidak ada keadilan,” ujar Retno mengumpamakan.

Pada dasarnya, suatu lembaga independen jika dikelola dengan baik, maka hasilnya akan kredibel dalam menyelenggarakan UN. Tetapi dalam hal ini, FSGI sepakat ingin UN hanya menjadi pemetaan kualitas pendidikan, bukan syarat kelulusan.

Sekolah dan guru, selama tiga tahun telah mengajar dan jauh lebih memahami anak didik daripada pemerintah. Dan, FSGI berharap pemerintah memberikan kepercayaan kepada sekolah dan guru untuk menentukan kelulusan anak didiknya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home