Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 09:02 WIB | Sabtu, 16 September 2017

Gagal Move On

Orang yang sulit mengampuni kemungkinan besar memang belum beranjak dari masa lalunya.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Sewaktu berdoa Bapa Kami, bagaimana perasaan Saudara ketika sampai kalimat ”Dan ampunilah kami akan kesalahan kami….” Lega, terhibur, bahagia?

Namun, bagaimana pula perasaan Saudara saat berkata, ”… seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”? Resah, gelisah, merasa bersalah? Atau, jangan-jangan Saudara malah tidak mengucapkannya!

Pengampunan merupakan kebutuhan dasar manusia. Setelah makanan, Yesus mengajak para murid memohon pengampunan Allah. Tak hanya cukup rejeki, manusia butuh pengampunan akan kesalahannya—baik kepada Allah maupun sesama.

Permohonan ampun itu bukan tanpa syarat. Yesus tidak mengajar para murid-Nya berdoa, ”agar kami mampu mengampuni”, melainkan ”seperti kami juga mengampuni”. Dengan kata lain, pengampunan Allah hanya boleh diminta setelah mengampuni sesama. Mengampuni merupakan gaya hidup Kristen.

Mengampuni bukan hal mudah. Manusia lebih senang diampuni ketimbang mengampuni. Itu jugalah yang melatarbelakangi pertanyaan Simon: ”Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” (Mat. 18:21-35). Yesus menjawab, ”Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”

Simon terpana. Bagi dia, angka tujuh sudah terlalu banyak. Yesus menuntut lebih banyak: 70 kali lipat dari yang diajukan Simon. Inilah inti pengampunan—kesempurnaan pengampunan; pengampunan total. Pengampunan bukan soal hitung-hitungan di atas kertas, tetapi kesediaan untuk senantiasa mengampuni.

Mengampuni berarti memulihkan hubungan. Mengampuni berarti tidak ada lagi orang yang berutang kepada kita. Mengampuni berarti setaralah kedudukan kita dengan orang tersebut. Mengampuni merupakan bukti nyata kasih. Itulah makna terdalam Kerajaan Surga.

 

Kisah Yusuf

Itu pulalah yang ditampakkan Yusuf. Ketika Yakub meninggal, seluruh saudaranya merasa takut akan kemungkinan balas dendam. Karena itu, mereka memohon belas kasihan Yusuf dengan perantaraan orang lain karena jeri berhadapan langsung.

Yusuf menangis karena saudaranya masih berpikir ia akan membalas dendam. Di hadapan mereka, Yusuf berkata, ”Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kej. 50:20)

Yusuf melihat kejahatan saudaranya dari sudut pandang Allah. Dia tahu, tidak ada sesuatu pun terjadi atas dirinya tanpa seizin Allah. Allah mengizinkan hal buruk terjadi untuk menyatakan kebaikan-Nya bagi umat-Nya. Yusuf memercayainya. Karena itulah, dia mampu mengampuni saudaranya!

Dengan kata lain, Yusuf tidak dipenjara oleh masa lalu. Dia melihat masa lalu melalui kacamata masa kini. Yusuf hidup pada masa kini dan melihat masa lalu dengan penuh syukur. Orang yang sulit mengampuni kemungkinan besar memang belum beranjak dari masa lalunya. Kata anak muda masa kini: gagal move on. Dia masih tenggelam dalam masa lalu.

Saudara setuju?

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home