Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 18:23 WIB | Rabu, 04 Mei 2016

Gandeng Tetangga Muslim, Ateis Kampanyekan Humanisme

Salah satu peserta yang difoto dan diwawancarai untuk proyek 'Faces of Islam' (Foto: Matt Palmer)

BRISBANE, SATUHARAPAN.COM – Bersama dengan orang-orang Islam di sekitar kotanya, Matt Palmer, seorang fotografer ateis mengampanyekan humanisme.

Tak masalah apa pun keyakinanmu (atau tidak memiliki keyakinan sekalipun), jika kamu berkesempatan berduka, mencari tujuan, rindu akan keadilan, dan terkadang melakukan hal di luar kemampuan  di momen yang pas dengan berani, kamu manusia.

Itulah pesan umum tentang humanisme yang ingin Matt Palmer, seorang fotografer Australia, ingin sampaikan kepada dunia lewat seri fotonya, “Faces of Islam”. Selain kutipan tentang Islam banyak juga yang menyangkut dengan aspek kehidupan seseorang seperti karir, hobi, keresahan, dan mimpi.

 “Faces of Islam adalah proyek tentang ‘manusia’. Orang-orang yang ikut terlibat adalah tetangga kami, para pemilik usaha, ibu-ibu, dan komunitas lainnya,” menurut pernyataan Palmer lewat email yang dilansir dari Huffington Post. “Jadi Interview berfokus pada mencari tahu siapa mereka dan menelisik pengalaman yang bisa dibagikan yang kita semua bisa merasa saling terkait”.

Ide ini datang setelah serangan di Paris. Dia sadar ada banyak kesalahpahaman tentang orang-orang Muslim yang tersebar luas di media sosial.

Meskipun dirinya atheis, Palmer percaya bahwa semua orang mempunyai kebebasan untuk berkeyakinan dan beragama.

“Kita semua punya keyakinan, tidak peduli dari mana kita berasal, bagaimana kita mengenali Tuhan atau pun Dewa, kita semua memiliki keyakinan. Keyakinan saya sangat kuat dalam masalah keadilan, dan keadilan berlaku adil,” Palmer menulis. “Meskipun proyek ini disebut ‘Faces Of Islam’ dan berfokus kepada orang-orang Islam yang sedang menghadapi masa-masa sulit bagaimana mereka dikenal di kalangan luas, ini juga proyek yang merangkum keyakinan saya juga.”

Ada 40 Muslim dari berbagai latar belakang yang berbeda yang ia potret. Dari pengungsi sampai pribumi, ada juga yang masih bisa melacak warisan nenek moyangnya sampai pertama kali orang Eropa mendarat di Australia. Yang termuda yang ia ajak berbincang berumur tiga tahun dan yang paling tua berumur 75 tahun.

Upaya ini telah membantunya untuk lebih banyak belajar tentang tetangganya yang Muslim.

“Saya masih memiliki paham skeptis yang sehat tentang agama secara umum, tapi yang paling utama saya adalah pendukung orang-orang baik”. (huffingpost/kav)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home