Loading...
ANALISIS
Penulis: Padmono Sk. 00:00 WIB | Rabu, 11 Mei 2016

Golkar dan “Cleret Gombel”

Pertarungan politik dalam tubuh Partai Golkar makin memanas. Tetapi apakah partai yang dulu pernah sangat berkuasa mampu mengubah wajah dan kiprahnya?

Jakarta, Satuharapan.com - Aneh! Para calon ketua umum berkampanye dengan berlomba-lomba untuk menjadi loyalis pemerintah yang dipimpin Jokowi – Jusuf Kala. Ada yang berjanji, “kalau saya saya jadi Ketua Umum, Golkar akan loyal kepada Pemerintah”. Ada yang berjanji “Golkar akan mendukung  pemerintahan Jokowi – JK!” Ada pula yang berkata, “Golkar memang dilahirkan untuk mendukung pemerintah”. Ini kampanye macam apa?

Mereka yang berjanji seperti itu adalah Ade Komarudin, Setya Novanto, dan Priyo Budi Santosa.  Ade Komarudin atau Akom yang kini menjadi Ketua DPR menggantikan Setya Novanto adalah politisi Golkar yang paling senior di antara calon yang lain. Ia lama berkiprah di DPRD DKI. Setya Novanto adalah mantan Ketua DPR yang mengundurkan diri sebelum dijatuhkan dalam siding MKD DPR karena kasus “Papa minta saham” di Freeport. Terkenalnya Setya Novanto diawali sejak pemerintahan BJ Habibie ketika dia menjadi aktor kasus Bank Bali. Sementara itu Priyo Budi Santosa adalah mantan Wakil Ketua DPR (2009 – 2014) yang suaranya selalu menyanjung presiden ketika ada rencana reshuffle kabinet.

Kampanye para kandidat calon ketua umum Golkar itu menunjukkan  bahwa mereka tidak memiliki visi yang jelas bagi Golkar. Betapa tidak, membawa Golkar menjadi loyalis kepada pemerintah berarti menyerahkan kehormatan dan kedaulatan partai itu kepada pemerintah. Padahal dalam pemilihan presiden 2014 Golkar berseberangan dengan Jokowi – JK.

Apakah dengan kampanye seperti itu mereka mengharapkan Jokowi akan mendukungnya untuk menjadi ketua umum? Barangkali dalam benak mereka, pemerintah adalah penguasa mutlak yang bisa menentukan nasib partai-partai politik, sehingga siapapun yang dekat dengan pemerintah atau didukung oleh pemerintah akan menjadi ketua umum.  

Ini merupakan sebuah mindset yang kelliru!  Dan kelirunya itu sudah kebangetan, sehingga Setya Novanto yang adalah ketua fraksi Golkar nimbrung bersama pimpinan DPR bertemu presiden di istana Negara. Padahal dalam kasus “papa minta saham” dia mencatut nama Jokowi. Itulah karakter seorang calon ketua umum Golkar: tidak punya etika dan kehormatan!

Sepertinya mereka masih terbelenggu cara berpolitik di jaman Orde Baru. Di jaman itu, siapapun yang ingin menjadi ketua umum (tidak hanya partai politik tetapi juga ormas) harus mendapat restu dari Soeharto. Oleh Soeharto, Golkar memang sekadar dijadikan alat bagi kekuasaan, pemberi legitimasi seolah-olah pemerintah menjunjung tinggi demokrasi!

Padahal di masa itu Soeharto adalah penguasa tunggal yang menentukan semuanya. Ia bukan ketua umum Golkar, tetapi ketua dewan pembina. Tetapi dialah penentu arah dan kebijakan Golkar.

Kondisi seperti itulah  yang kelihatannya meracuni benak calon-calon ketua umum itu. Hal itu justru menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti sejarah Golkar. Benar bahwa Golkar adalah alat bagi pemerintahan Soeharto tetapi ada masa di mana Golkar dengan fraksi karya di DPR mampu dan berani menempatkan diri sebagai mitra yang sejajar dengan pemerintah. Soeharto pun tidak sejak awal menjadi penguasa mutlak Golkar.

Di awal pemerintahannya, Soeharto masih menempatkan Golkar sebagai pemberi pertimbangan, di samping Angkatan Bersenjata. Dalam pemilu pertama di masa pemerintahannya di tahun 1971, Soeharto masih menghadapi kekawatiran Golkar masih kalah dengan partai-partai yang ada. Itu sebabnya pengumuman hasil pemilu dan sidang umum MPR diundur sampai 2 tahun, dan baru tahun 1973 diselenggarakan. Dalam kurun waktu 2 tahun itulah hasil pemilu di rekayasa, dan Golkar dinyatakan sebagai pemenang. Tetapi untuk DKI Jakarta dan DI Aceh, Soeharto tidak berani banyak bicara karena kenyataannya dua daerah itu dikuasai oleh partai-partai Islam. Sampai pemilu tahun 1977 DKI masih dikuasai oleh PPP.

Dasawarsa 1970-an itu Golkar masih memiliki gagasan yang berani bertentangan dengan Pemerintah. Dalam menentukan tarif dasar listrik, misalnya, Menteri Pertambangan Subroto harus berargumentasi dengan tim fraksi Karya Pembangunan (Golkar) karena di fraksi itu ada pakar yang mampu berhitung hingga sen untuk menentukan harga per Kwh. Ketika kepepet dalam berargumentasi dan Menteri berkata, “nanti saya laporkan ke bapak presiden”, ketua fraksi berani berkata, “saya juga bisa bawa ke presiden”.

Padahal menteri di waktu itu adalah anggota dewan pembina. Akhirnya hasil perdebatan itu memenangkan tim fraksi karena harga TDL benar-benar diturunkan oleh pemerintah. Hal itu menunjukkan bahwa ada kesejajaran di antara pemerintah dan fraksi. Orang-orang fraksi masih diperhitungkan oleh Soeharto karena fraksi masih memiliki posisi tawar.

Baru setelah Munas Golkar tahun 1983, ketika kepemimpinan Golkar beralih ke tangan Sudharmono, yang adalah Menteri Sekretaris Negara, Pemerintah benar-benar mengendalikan Golkar. Namun demikian pada saat seperti itupun masih ada sisa-sisa anggota fraksi yang secara sporadis berani mengusulkan sesuatu yang berbeda dengan pemerintah. Misalnya ketika harga minyak dunia sedang turun dan menurut perhitungan ekonomi Indonesia diuntungkan dengan keadaan itu, ada anggota DPR yang mengusulkan agar harga BBM diturunkan!

Pernyataan seperti itu mengejutkan pemerintah. Celakanya, pernyataan seperti itu justru mengundang predator politik. Para predator yang kerjanya hanya mengiyakan kebijakan pemerintah dan membuat senang pemerintah berbondong-bondong mengusulkan agar orang seperti itu direcall. Mereka beranggapan, orang Golkar yang tidak mendukung dan bersuara lain dengan kebijakan pemerintah adalah pengkhianat dan harus dikeluarkan dari Golkar. Tetapi yang terjadi kemudian pemerintah benar-benar menurunkan harga BBM. Itulah sekali-kalinya di jaman pemerintahan Soeharto harga BBM diturunkan. Jadi tidak benar kalau dikatakan bahwa SBY adalah presiden mempelopori penurunan harga BBM seperti yang kita dengar selama ini.

Orang-orang fraksi karya yang tetap bersikap kritis itulah yang disebut sebagai cleret gombel atau cicak terbang. Cleret gombel adalah jenis cicak yang hidup di pohon-pohon yang di kedua sisi lengannya memiliki lapisan yang dapat berfungsi sebagai sayap. Ketika pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, hewan itu biasa menggoyangkan badannya, seolah-olah menggoyang pohon tempat dia menempel.

Politisi Golkar yang dijuluki cleret gombel itu adalah sekelompok politisi muda dari Bandung yang terkenal kritis, yaitu Rahmat Witoelar, Sarwono Kusumaatmadja, dan Djoko Sudyatmiko. Di bawah kepemimpinan Soegiharto sebagai Ketua Fraksi, mereka berani berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah.. Mereka dijuluki cleret gombel karena seringkali pernyataan-pernyataan mereka menarik bagi kalangan pers dan untuk sesaat membuat heboh keadaan.

Dibutuhkan energi yang cukup untuk mendinginkan keadaan. Tetapi paling tidak pemerintah dituntut untuk mengubah keadaan. Tetapi ketika Soeharto semakin kuat dan Golkar ditempatkan sebagai stempel pemerintah, cleret gombel itu semakin tak mampu menggoyang keadaan. Untuk sesaat keadaan seolah-olah menjadi goyah, terjadi heboh atau kegaduhan politik, tetapi pemerintah sebagai pohon besarnya bergeming, tak terpengaruh oleh keadaan. Itulah cleret gombel, tubuhnya sendiri yang bergoyang tetapi dia pikir pohonnya ikut bergoyang!

Ketika kondisi Golkar seperti itu, para calon ketua umum Golkar itu masih menjadi anak bawang. Barangkali mereka hanya mengerti bahwa Golkar adalah partai pemerintah. Karena itu setelah reformasi dan Golkar menjadi Partai Politik, pimpinan Golkar berusaha membawa partai itu sebagai loyalis pemerintah.

Ketua Umum yang menjadikan Golkar sebagai Partai Politik, Akbar Tandjung sebenarnya lebih realistis. Di bawah kepemimpinannya ia berhasil menempatkan beberapa pengurus Golkar berada di dalam pemerintahan dan Golkar menjadi mitra sejajar pemerintah. Namun Akbar Tandjung tidak pernah mengatakan Golkar sebagai pendukung atau loyalis pemerintah.

Setelah era Akbar Tandjung, Partai Golkar kehilangan pamor. Oleh pimpinannya, Golkar dijadikan pendukung pemerintah namun sama sekali tidak ikut menentukan arah kebijakan pemerintah. Bahkan di bawah pemerintahan Aburizal Bakrie, Golkar tidak saja kehilangan pamor, tetapi juga kehilangan kehormatan! Dalam pemilihan presiden, Golkar seolah hanya pemandu sorak.

Para calon ketua umum yang kini mulai berkampanye itupun tak akan jauh berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya. Yang membedakan barangkali hanya karakter partai itu. Dalam dua kepemimpinan sebelumnya (JK dan ARB), Golkar merupakan partai saudagar yang tidak memiliki visi dan hanya berhitung untung rugi.

Karena itu kalau mau eksis di masa mendatang Golkar harus mengambil kembali kehormatan yang telah sepuluh tahun hilang. Paling tidak Golkar menjadi partai cleret gombel, yang mampu menggoyang dan membuat gaduh keadaan dengan ide-ide yang brilyan dan bernas. Kendati negeri ini tidak akan goyah oleh goyangannya, tetapi paling tidak pemerintah harus memperhitungkan ide-ide yang brilyan, bernas dan kreatif yang berguna bagi kepentingan negeri ini.

Karena menyangkut kehormatan partai, penting bagi Golkar untuk menentukan syarat bagi calon ketua umum yang memang memiliki kehormatan: tidak tercela!

 

Penulis adalah mantan Ketua Wartawan DPR (1982-1986)

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home