Loading...
HAM
Penulis: Melki Pangaribuan 17:44 WIB | Rabu, 01 Maret 2017

HRWG: Sambutan RI Terhadap Raja Salman Berlebihan

Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz al-Saud mengisi buku tamu di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, hari Rabu (1/3). (Foto: BPMI Setpres)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Human Rights Working Group (HRWG) menilai kedatangan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz al-Saud ke Indonesia memunculkan sambutan yang berlebihan dibandingkan dengan kunjungan kepala-kepala negara lain.

Menurut HRWG dalam pernyataan persnya, kedatangan Raja Salman tidak satupun menyinggung soal pemajuan demokrasi di dalam konteks Islam dan HAM, khususnya untuk perlindungan hak-hak buruh migran. 

“Dari kesepuluh nota kesepakatan yang akan ditandatangani oleh Raja Salman dalam lawatan kerja dan liburannya ke Indonesia, lebih menekankan pada kerjasama ekonomi, perdagangan, kesehatan, kebudayaan,” kata Muhammad Hafiz, Pjs. Direktur Eksekutif HRWG, di Jakarta, hari Rabu (1/3).

Hafiz mengatakan, permasalahan buruh migran Indonesia di Arab Saudi menjadi aspek diplomatik yang belum pernah selesai hingga sekarang. Ragam perundingan bilateral dan upaya penguatan perjanjian dilakukan, namun tetap saja buruh migran Indonesia terutama yang bekerja di sektor domestik, berada dalam situasi yang sangat rentan terhadap pelanggaran.

Menurut data HRWG dan sejumlah serikat buruh migran di Indonesia, ada beberapa kasus yang menguat di Arab Saudi saat ini terkait perlindungan buruh migran.

Pertama, pemerintah Indonesia telah melakukan moratorium penempatan buruh migran sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi, berdasarkan pada Keputusan Kementerian Ketenagakerjaan, namun pada praktiknya penempatan terus dilakukan secara tidak sah dengan modus bekerja di sektor formal.

“Menurut catatan APJATI, penempatan hingga 5.000 orang per bulan. Hal ini menyebabkan buruh migran dalam situasi yang sangat rentan karena mengalami dua kali proses outsourcing,” katanya.

Kedua, sistem kerja kontrak jangka pendek dan pemotongan gaji bagi PRT. Pada praktiknya saat ini, agency yang ada di Arab Saudi menjual kontrak kerja buruh migran kepada majikan secara perorangan tiga hingga 12 bulan, yang menyebabkan ketidakjelasan status PRT yang bekerja itu sendiri.

“Bahkan, agency memotong separuh gaji yang seharusnya diterima PRT dari majikan,” katanya.

Ketiga, kasus lain yang menguat pula di Arab Saudi adalah pelarangan pulang terutama PRT yang bekerja di sektor domestik/rumah tangga oleh majikan, yang biasanya dilakukan dengan penahanan passport dan penutupan akses ke luar termasuk KBRI.

“Menurut data yang dihimpun oleh SBMI, saat ini setidaknya terdapat 124 kasus buruh migran di Arab Saudi yang dilarang pulang oleh majikan,” katanya.

Keempat, menguatnya kasus-kasus yang mengkriminalisasi buruh migran di Arab Saudi, seperti yang dialami oleh Rusmini Wati dari Indramayu, yang dituduh melakukan sihir kepada majian perempuannya.

“Saat ini, setelah melakukan banding, Rusmini dipidana 12 tahun setelah sebelumnya divonis dengan hukuman mati,”  katanya.

Kelima, kasus PHK sepihak oleh perusahaan di Arab Saudi, tidak digaji dan bahkan tidak dipenuhi hak-haknya. Ini yang terjadi baru-baru ini ketika perusahaan Bin Laden Group mengalami kebangkrutan dan menyebabkan 11.743 WNI yang bekerja di sektor infrastruktur dan bangunan di-PHK secara massal dan tidak diberikan hak-haknya sebagai pekerja.

HRWG memandang bahwa permasalahan buruh migran Indonesia di luar negeri, termasuk di Arab Saudi, merupakan permasalahan bilateral dan global yang harus diselesaikan pada tingkat high-level diplomacy yang melibatkan kepala negara masing-masing pihak.

“Dalam kondisi saat ini Arab Saudi yang berkepentingan untuk menanamkan modal asingnya di Indonesia seharusnya dapat dijadikan jalan masuk bagi Pemerintah Indonesia untuk juga meminta Arab Saudi melindungi buruh migran Indonesia yang ada di sana,” katanya.

Hafiz mengatakan, bahwa perlindungan ini dapat ditekankan pada beberapa aspek, yaitu Pemerintah Indonesia harus meminta KSA untuk membuat sistem perlindungan hukum yang tegas dan jelas bagi hak-hak buruh migran Indonesia yang ada di Arab Saudi.

“Seperti jaminan upah minimum, akses layanan publik dan jaminan sosial, serta memastikan adanya mekanisme pengaduan, pengawasan dan penghukuman bagi agen atau majikan yang melanggar sesuai dengan hukum yang berlaku,” katanya.

Kemudian, menyusun kerangka sistem perlindungan buruh migran Indonesia di Arab Saudi yang bekerja di sektor domestik, seperti pekerja rumah tangga (PRT), serta memastikan adanya jaminan hak-hak yang setara dengan pekerja formal.

Selanjutnya membangun kerangka hukum perlindungan buruh migran di KSA yang sesuai dengan prinsip Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, termasuk pula harmonisasi dan perlindungan hukum bagi buruh migran yang setara dengan warga negara KSA.

“Memerangi stigma negatif terhadap WNI di Arab Saudi, terutama bagi pekerja rumah tangga, yang seringkali dianggap sebagai ammah (budak), sehingga menyebabkan posisi PRT semakin rentan atas pelanggaran, pelecehan seksual, bahkan perkosaan,” katanya.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home