Loading...
HAM
Penulis: Melki Pangaribuan 18:11 WIB | Rabu, 11 Januari 2017

HRWG Nilai Diplomasi Indonesia 2017 Tidak Prioritaskan HAM

Ilustrasi: Pencari suaka etnis Rohingya dari Myanmar, dan Bangladesh, berdoa sebelum menyantap makanan di lokasi penampungan sementara, Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara, Minggu (17/5) malam. (Foto: Dok.satuharapan.com/Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Human Rights Working Group (HRWG) menilai proyeksi politik luar negeri Indonesia tahun 2017 seperti disampaikan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di Jakarta (10/1) tidak meletakkan hak asasi manusia (HAM) sebagai prioritas diplomasi.

Menurtut HRWG, HAM itu disebut pada poin terakhir (poin ke-14) fokus diplomasi tahun 2017.

Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, mengatakan komitmen politik luar negeri Indonesia ke depan, masih mengacu pada paradigma developmentalism yaitu dengan menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas kawasan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, kebijakan luar negeri selaras dengan kebijakan nasional di mana di bawah pemerintahan Jokowi-JK, Indonesia lebih berfokus pada percepatan pembangunan.

“Hak asasi manusia harusnya menjadi landasan utama bagi setiap kebijakan, termasuk kebijakan luar negeri. Perlu dilihat bahwa problem mendasar dunia dewasa ini adalah meningkatnya konservatisme akibat rezim yang dipilih secara demokratis tidak menjadikan HAM sebagai dasar kebijakannya,” kata Muhammad Hafiz di Jakarta, hari Rabu (11/1).

Hafiz menambahkan, Indonesia bersama dengan India, Brazil dan Afrika Selatan adalah negara demokrasi baru pada tingkat global. Kelompok ini mempunyai “soft power” dalam bentuk demokrasi dan penghargaan pada HAM yang telah mengubah kancah kekuatan politik dan diplomasi international di bidang demokrasi dan HAM.

Menurutnya, semakin kuat sebuah negara maka semakin besar tanggung jawabnya, baik terhadap rakyat maupun terhadap perkembangan demokrasi dan HAM di tingkat regional dan internasional.

“Jika HAM tidak dijadikan fokus pada kebijakan pemerintah Indonesia, maka Indonesia akan selalu gagap menyikapi persoalan-persoalan akibat praktik intoleran di dunia yang trennya menguat. Sebut saja problem politisasi agama. Tanpa menggunakan argumentasi HAM, demokrasi kita akan terjebak pada tirani mayoritas,” lanjutnya.  

Sementara itu, program menejer ASEAN HRWG, Daniel Awigra, mengatakan kinerja diplomasi pemerintah Indonesia patut diapresiasi, khususnya pada isu Palestina dan Rohingya.

Khusus untuk isu Palestina, diharapkan Indonesia tidak sekadar aktif di dalam diplomasi mendukung kemerdekaan, melainkan juga aktif menggalang dukungan untuk mengusut pelaku pelanggaran HAM berat di Palestina, seperti kejahatan atas kemanusiaan dan kejahatan perang, katanya.

“Kunjungan Menlu ke Myanmar baru-baru ini menunjukkan keprihatinan dan kepedulian Indonesia atas krisis kemanusian di kawasan. Hal ini juga bisa dilihat sebagai bentuk kepercayaan pemerintah Myanmar. Selain itu, upaya semacan ini adalah preseden yang baik untuk ASEAN keluar dari paradigma lama soal non-intervensi,” kata Daniel Awigra.

Menurut Awigra, peran ini harus terus didorong dan ditingkatkan, khususnya lebih mendasarkan pada semangat kerjasama politik (membangun kepercayaan) dan menggunakan argumentasi HAM.

“Hal yang luput dijelaskan dari pidato Menlu adalah perlunya mendorong penguatan mandat Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR). Di samping itu, AICHR Indonesia, dalam kapasitasnya sebagai perwakilan RI seharusnya lebih pro-aktif menyikapi berbagai persoalan HAM di kawasan,” katanya.

Awigra menyebutkan isu hukuman mati, Rohingya, extra judicial killings, buruh migran, intimidasi, pembunuhan, penghilangan paksa para aktivis kemanusiaan dan aktivis lingkungan, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya masih menjadi bayang-bayang narasi pembentukan Komunitas ASEAN. (PR)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home