Loading...
SAINS
Penulis: Francisca Christy Rosana 17:55 WIB | Kamis, 11 Desember 2014

Hutan Seluas Lapangan Bola Hilang Setiap 20 Detik

“Ini tentu menimbulkan bencana. Banyak sekali bencana yang telah dipanen oleh Indonesia dan frekuensinya semakin sering. Kemudian harga yang harus dibayar pun akhirnya menjadi sangat mahal.”
Hutan Seluas Lapangan Bola Hilang Setiap 20 Detik
Foto pembalakan hutan liar di Kalimantan Tengah pada 2002. Foto ini adalah potret kecil dari illegal loging yang dilakukan di Indonesia. Terlihat kayu-kayu mengapung di bantaran sungai dan hutan mulai menggundul. (Foto: Dok. Forest Watch Indonesia)
Hutan Seluas Lapangan Bola Hilang Setiap 20 Detik
Dari kiri Christian Purba Direktur Eksekutif FWI dan Togu Manurung ketua perkumpulan FWI saat peluncuran buku Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009 - 2013 pada Kamis (10/12) di Hotel Santika, Slipi, Jakarta Barat. (Foto-foto: Francisca Christy Rosana)
Hutan Seluas Lapangan Bola Hilang Setiap 20 Detik
Togu secara simbolis meresmikan peluncuran buku yang diterbitkan oleh FWI.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerkosaan hutan di Indonesia yang telah terjadi sejak lama menyebabkan hutan berada di titik kritis.

Potret hutan yang memprihatinkan ini terjadi karena praktik kerakusan manusia, seperti penebangan liar, penutupan hutan menjadi lahan industri, dan kebakaran yang rutin terjadi setiap tahun.

Kegiatan ilegal ini setidaknya telah menyebabkan hutan di Indonesia seluas lapangan sepak bola hilang setiap 20 detik sekali.  

Menurut catatan yang disampaikan Ketua Perkumpulan Forest Watch Indonesia (FWI), Togu Manurung, Ph.D saat pelucuran buku Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009 – 2013 pada Kamis (11/12) di Santika Hotel, Slipi, Jakarta Barat, dalam jangka waktu empat tahun 4,6 juta hektare hutan alam di Indonesia hilang.

“Besarnya luas hutan yang hilang ini melampaui luas Provinsi Sumatera Barat yang memiliki luas wilayah kurang lebih 4,2 juta hektare,” kata Togu kepada awak media.

Jika kondisi yang sama terus terjadi, FWI menengarai di masa mendatang sebesar 73 hektare hutan alam terancam hilang, baik secara legal maupun ilegal.

Sementara itu, upaya-upaya perbaikan hutan yang tidak menjangkau persoalan mendasar akan memicu percepatan kehilangan hutan alam, mulai dari perencanaan pembangunan di tingkat nasional sampai situasi ketidakhadiran pengelola hutan di tingkat tapak.

Deforestasi, Potret Lemahnya Tata Kelola Hutan

Tingginya tingkat deforestasi atau penghilangan hutan merupakan salah satu potret lemahnya tata kelola hutan oleh pemerintah.

Christian Purba Direktur Eksekutif FWI mengatakan tingginya angka deforestasi hutan sewaktu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini terjadi bersamaan ketika Indonesia tengah mengkampanyekan peduli lingkungan di tingkat dunia.

Peristiwa ini menurut Christian Purba harus menjadi cerminan bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) agar ketidaksesuaian konsep dan implementasi perihal hutan tidak lagi terjadi.

Tingginya deforestasi menyebabkan hancur leburnya ekosistem hutan.

“Ini tentu menimbulkan bencana. Banyak sekali bencana yang telah dipanen oleh Indonesia dan frekuensinya semakin sering. Kemudian harga yang harus dibayar pun akhirnya menjadi sangat mahal,” kata Togu.

Perbaikan pengelolaan hutan dalam hal ini menurut Togu menjadi pekerjaan rumah yang sangat serius.

“Yang paling penting dalam pengelolaan sumber daya hutan adalah bagaimana kita mewujud-nyatakan praktik pengelolaan hutan lestari,” ujar Togu.

Mengelola Hutan Lestari

Penyelamatan kerusakan hutan yang telah terjadi salah satunya ialah dengan mengelola hutan lestari. 

Dalam pengelolaan hutan lestari, Togu menjelaskan ada ada tiga aspek kelestarian yang harus digalakkan. Aspek kelestarian itu ialah kelestarian produksi, kelestarian lingkungan, dan kelestarian sosial.

"Semua ini dalam rangka menuju pegelolaan hutan lestari melalui praktik pengelolaan hutan yang baik. Tata kelola hutan yang baik ini membutuhkan data dan informasi yang baik dan dapat dipercaya serta up to date," kata Togu.

FWI menilai ketiga prioritas perbaikan tata kelola hutan tersebut dapat dijalankan secara optimal oleh penyelenggara kehutanan apabila kondisi pemungkin (enabling condition) telah terpenuhi.

Enabling condition meliputi penguatan basis data dan informasi mengenai kekayaan sumberdaya hutan serta manajemen pengetahuannya yang kini menjadi titik kritis, review kebijakan untuk mewujudkan good forestry governance menjadi prasyarat berjalanannya program utama, memperkuat peran pemerintah dalam mengakomodasi hak-hak masyarakat, menciptakan iklim persaingan usaha secara adil dan efisien melalui review kebijakan perdagangan hasil hutan dan pengendalian biaya transaksi dalam penetapan rekomendasi maupun pelaksanaan perizinan, dan penguatan kapasitas kelembagaan yang langsung beroperasi di lingkungan.

“Ini adalah fakta lapangan kegagalan pemerintah. Seharusnya pemerintah mengelola dengan baik,” ujar Togu.

Menurutnya, potret kerusakan adalah gambaran sudah terjadi, yang terpenting saat ini ialah bagaimana masyarakat dan pemerintah menyikapi hutan agar terselamatkan di masa mendatang. 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home