Loading...
SAINS
Penulis: Francisca Christy Rosana 12:35 WIB | Jumat, 05 Desember 2014

Skala Masif Pembalakan Liar bentuk Pemerkosaan Hutan

Ketua Perkumpulan Forest Watch Indonesia (FWI) E.G. Togu Manurung, Ph.D. saat menjadi pembicara dalam diskusi media penggabungan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup di Pisa Kafe, Menteng, Jakarta pada Kamis (4/12). (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Perkumpulan Forest Watch Indonesia (FWI) E.G. Togu Manurung, Ph.D. mengatakan fakta kerusakan sumber daya hutan yang sudah berlangsung sekian lama dengan skala yang sangat masif mengakibatkan hutan Indonesia karut-marut.

“Ini adalah bentuk pemerkosaan hutan. Hutan kita diperkosa,” kata Togu saat menjadi pembicara dalam diskusi media penggabungan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup di Pisa Kafe, Menteng, Jakarta pada Kamis (4/12).

“Pernah dicatat dalam sejarah 3,5 juta hektar per tahun rusak akibat pembalakan liar,” Togu menambahkan.

Kerusakan ini tentu menimbulkan dampak yang serius, bahkan telah mengglobal. Jika dihitung, rusaknya hutan Indonesia ini teramat besar nilainya.

“Total kerugian ekonomi karena pembalakan liar di hutan-hutan ini lebih besar daripada dana yang didapat,” kata Togu.

Belum lagi, dana sosial sebagai akibat kerusakan lingkungan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah juga diperhitungkan lebih besar dibandingkan dengan total penerimaan dari hasil hutan.

“Ini adalah potret yang buruk yang masih terjadi sampai saat ini. Pembalakan liar dalam skala yang sangat masif terjadi,” kata Togu.

Lumpuhnya Kawasan Konservatif

Selain pembalakan liar, carut-marutnya hutan di Indonesia juga terjadi karena kebakaran lahan akibat ulah manusia.

“Ini penting dibahas karena peristiwa ini sudah seperti ulangtahun yang terjadi setiap tahun,” ujar Togu.

Kebakaran hutan yang rutin terjadi setiap tahun ini diperkirakan masih akan terjadi lagi di tahun-tahun mendatang jika pengawasan terhadap kwasan konservasi tidak ketat.

Di sisi lain, kerusakan hutan juga terjadi karena berubahnya fungsi hutan menjadi pertambangan. Ini tentu menyebabkan kelumpuhan kawasan konservatif. Hutan tak lagi menjadi fungsi paru-paru dunia ketika keberadaannya telah ‘dialihkan’. Lumpuhnya kawasan konservatif ini menimbulkan dampak lingkungan hidup yang besar bagi negara maupun dunia.

Penggabungan Kemenhut dan Kementerian LH, Sebuah Jawaban

Kebijakan pemerintah untuk menggabungkan dua kementerian, yakni Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kementerian Lingkungan Hidup (LH) dinilai Togu merupakan sebuah jawaban dari persoalan yang tengah dihadapi bangsa. Di lihat dari kacamata positif, Togu menganggap secara sederhana  penggabungan ini merupakan kebijakan yang tepat.

“Ini berarti Presiden Jokowi menaruh perhatian yang penting untuk persoalan lingkungan hidup. Jadi, secara sederhana ini untuk mewujudkan hutan lestari agar lingkungan hidup menjadi lebih baik,” kata Togu.

Sementara itu, tentu saja penggabungan dua kementerian ini harus dimaksimalkan dan berorientasi pada masyarakat karena selama ini kementerian hutan yang berdiri sendiri menurut Togu masih belum berhasil.

“Kemenhut dalam hal pengelolaan hutan ke masyarakat, hutan desa, hutan taman rakyat, progressnya sangat minimal dan rendah,” ujar dia.

 Togu mengimbau agar pemerintah dapat mewujudkan tujuan penggabungan dua kementerian ini agar berpihak pada masyarakat.

“Tata kelola yang baik dimulai dengan transparasi dana. Semua tentang kehutanan dan lingkungan hidup ini bukan rahasia negara, semua harus dibuka dan diberi akses agar menjadi bagian dari kontrol media dan masyarakat,” kata Togu.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home