Loading...
HAM
Penulis: Wim Goissler 18:28 WIB | Minggu, 04 Maret 2018

Ibrahim Peyon: Diplomasi Pasifik akan Gagal Redam Isu Papua

Antropolog dan Dosen Universitas Cendrawasih, A. Ibrahim Peyon. (Foto: Dok Pribadi)

JAKARTA-MUNICH, SATUHARAPAN.COM - Ini adalah bagian kedua dari empat bagian wawancara dengan Ibrahim Peyon, antropolog dan dosen Universitas Cendrawasih, yang saat ini tengah menempuh studi Ph.D di Universitas Ludwig-Maximilians, Munich, Jerman. Dalam bagian ini, antropolog yang bersuara vokal menuntut pelurusan sejarah Papua, berpendapat diplomasi Pasifik yang dijalankan Indonesia untuk meredam isu Papua akan gagal. Penyebabnya adalah kedekatan Indonesia dengan negara-negara di Pasifik tidak cukup kuat untuk mengalahkan solidaritas ke-Melanesia-an mereka.

“Saya yakin negara-negara Pasifik akan melihat dan menganalisis hal-hal seperti ini dan mereka juga tidak hanya menerima tawaran ekonomi itu secara utuh. Karena sebuah negara tidak bisa dibeli dengan uang dan ekonomi. Mereka adalah negara yang memiliki integritas, martabat dan moral. Memang sisi lain hubungan ekonomi itu dapat melemahkan dukungan di negara-negara itu, tetapi mereka juga sebagai negara demokrasi memiliki harga diri dan jalan pikiran mereka sendiri, yang disebut Pacific way,” kata Ibrahim Peyon, dalam wawancara dengan satuharapan.com.  

Sebagai antropolog, Ibrahim Peyon sudah menulis sejumlah buku, antara lain  Suatu Kajian Kritis Mengenai Papua (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Manusia Papua Negroid: Ras dan Ilmu dalam Teori Antropologi, (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Struktur Sosial dan Kekerabatan Orang Yali (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2012), Terang Bersinar di Balik Gunung: Kisah Pelayanan para Penginjil GKI-TP di Pegunungan Papua Barat, (Penerbit Kelompok Studi Nirentohon, 2015 dan Kolonialisme dan Cahaya Dekolonisasi di Papua Barat (Penerbit Nentiens Focus, 2010).

Terlahir dengan latar belakang etnis Yali, Ibrahim Peyon telah bulat mendedikasikan hidupnya sebagai akademisi. Dan ia mengatakan dalam kapasitas itu akan “menyampaikan informasi yang benar kepada mahasiswa dan kepada orang lain. Dalam dunia akademik tidak mengenal apa yang disebut rekayasa sejarah. Bila salah informasi dan rekayasa sejarah, maka tugas akademisi untuk meluruskan dan memperbaiki hal itu. Tujuannya untuk mendidik bangsa supaya manusia tidak berada di ruang gelap, dalam sejarah hampa, buta sejarah dan budaya.

Ketika dikonfirmasi adanya berita bahwa ia diblacklist untuk kembali ke Indonesia karena sikap kritis dan vokalnya, secara diplomatis ia menjawab, “saya tidak bisa jawab pertanyaan ini karena itu berita berasal dari bahasa lisan orang-orang tertentu di Papua sana.”

Selanjutnya ketika ditanyakan kapan ia akan kembali, dia mengatakan, “Untuk kembali ke Papua itu bisa kapan saja, bila saya ingin kembali. Karena kampung halaman sendiri. Rencana ke depan sudah jelas, kembali ke kampus untuk mengajar anak-anak Papua.”

Berikut ini wawancara bagian kedua dengan Ibrahim Peyon.

Satuharapan.com: Fiji dan Papua Nugini (PNG) selama ini dekat dengan Indonesia. Marshall Islands dan Nauru juga sudah mulai melunak sikap kritisnya terhadap Indonesia, terkait dengan isu Papua. Apa pendapat Anda?

Ibrahim Peyon: Posisi pemerintah PNG dan Fiji sudah sejak awal mendukung pemerintah Indonesia untuk kasus Papua. Kedua negara ini juga mendukung Indonesia untuk menjadi anggota obsever tahun 2013 di Kanaky dan anggota asosiasi di Salomon tahun 2015. Di mana saat itu, Indonesia membentuk kelompok Melindo (Melanesia-Indonesia) dan mengklaim memiliki 11 juta penduduk Melanesia di lima provinsi.

Pengumpulan tanda tangan untuk petisi referendum Papua yang oleh Indonesia dianggap ilegal (Foto: Ist).

Isu 11 juta penduduk Melanesia ini tidak berdasar dan hanya rekayasa belaka. Karena tiga Provinsi di luar dua Provinsi Papua itu bukan Melanesia, mereka adalah kelompok campuran dari Melayu, Polinesia, Melanesia dan Australia (bisa lihat artikel http://suarapapua.com/2016/08/21/melindo-politik-melanesiasi-diri-dan-diplomasi-indonesia/). Tetapi, faktanya isu Melindo itu sudah tenggelam dengan sendirinya di MSG saat ini dan yang hadir secara nyata di sana adalah Indonesia sebagai anggota asosiasi dan ULMWP sebagai obsever untuk mewakili Papua. Dalam wawancara di TV PNG bulan lalu ketua MSG dan juga perdana Menteri PNG Peter O Neil mengatakan, Indonesia menjadi anggota asosiasi di MSG untuk kepentingan ekonomi, sedang ULMWP menjadi Observer karena dulu Papua pernah ada di daftar dekolonisasi tahun 1960-an.

 Sebetulnya, apa tujuan MSG menerima Indonesia dalam konteks isu Papua?

Indonesia diterima menjadi asosiasi di MSG itu dengan tujuan utama adalah memberikan tempat untuk menyelesaikan masalah Papua dengan damai, tetapi Indonesia sendiri tidak bersedia menerima itikad baik itu. Justru sebaliknya, Indonesia mempengaruhi negara-negara MSG dan Pasifik dengan keinginannya sendiri. Tetapi, sikap PNG dan Fiji dalam KTT MSG bulan lalu di Port Moresby menunjukkan hal yang berbeda. Pemerintah PNG menerima delegasi ULMWP dengan protokeler resmi negara, sama dengan delegasi Indonesa dan negara-negara anggota MSG lain. Para pemimpin MSG juga sudah disepakati dan menyetujui kriteria baru MSG untuk anggota penuh, asosiasi dan obsever. Aplikasi ULMWP sudah disepakati, disetujui dan diteruskan di sekretariat MSG untuk diproses selanjutnya.

Tetapi berita yang dikembangkan oleh delegasi Indonesia yang hadir di sana sangat berbeda. Mereka kembangkan berita versi baru menurut keinginan mereka sendiri. Mereka lari dari substansi berita itu. Di mana delegasi Indonesia publikasikan di berbagai media di Indonesia bahwa aplikasi ULMWP ditolak di MSG. Ini berita tidak benar yang dilakukan secara sadar dan sistematis.         

Pada sisi lain sudah terlihat jelas pemerintah Indonesia juga sedang kecewa terhadap sikap negara-negara anggota MSG khususnya PNG dan Fiji dalam KTT di Port Moresby itu. Akhir bulan lalu, satuharapan.com menulis pernyataan juru bicara kedutaan besar Indonesia untuk Australia bahwa, mereka sudah membiayai uang dan kendaraan operasional untuk Sekretariat MSG ketika lembaga itu mengalami krisis keuangan tahun-tahun terakhir ini. Pernyataan itu sudah menunjukkan sikap kecewa atas diterimanya aplikasi ULMWP dalam KTT di Port Moresby itu. Artinya bahwa hubungan ekonomi dan perdangan dengan PNG dan Fiji tidak mampu membeli moralitas manusia yang memiliki hati nurani, dan nilai-nilai kebenaran.

Artinya, pendekatan terhadap PNG dan Fiji itu juga akan bernasib sama dengan pendekatan kepada Marshall Islands dan Nauru?

Pendekatan ekonomi dengan Marshall Islands dan Nauru jelas tidak berbeda dengan PNG dan Fiji. Tujuan utama pendekatan Indonesia dengan Nauru adalah untuk menghambat agenda Papua masuk dalam pertemuan Pacific Islands Forum (PIF) tahun ini, karena Nauru akan menjadi tuan rumah. Tetapi ingat, bahwa agenda pertemuan tidak hanya ditentukan oleh pemerintah dan negara tuan rumah tetapi masih banyak aktor lain termasuk rakyat sipil. Bila rakyat sipil mendorong agenda dan mendesak pemerintah mereka untuk dibahas, apapun harga yang dibayar pemerintah Indonesia, agenda Papua akan tetap diloloskan. Indonesia sendiri tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Marshall Islands selama ini tetapi hubungan ini dibangun hanya untuk meredam masalah Papua, tetapi saya yakin rakyat sipil negara-negara itu sudah tahu, bahwa hubungan itu bukan murni kepentingan ekonomi tetapi untuk kepentingan politik yang dibungkus dengan isu ekonomi.

Pertemuan Menlu Retno dan Mekopolhukam Wiranto melibatkan 43 kementerian dan institusi terkait bulan lalu adalah jelas agenda politik dan bukan ekonomi. Pendekatan ekonomi hanya sebagai jalan untuk menembak sasaran. Indonesia ingin bangun 14 negara Pasifik dengan melibatkan semua kementerian. Kita bisa bayangkan, berapa banyak uang yang akan dikeluarkan untuk membangun 14 negara Pasifik itu? Bila dikalkulasi untuk setiap tahunnya sangat besar. Apakah negara-negara Pasifik itu masih miskin dan terbelakang maka diperlukan bantuan Indonesia? Indonesia sendiri sudah maju, modern dan secara ekonomi kuat? Bagaimana dengan utang negara terus bertambah? Bagaimana dengan korupsi merajalela di mana-mana di Indonesia? Tingkat pengangguran dan kemiskinan tetap masih tinggi? Injdonesia sendiri telah gagal membangun Papua selama 54 tahun, bagaimana Indonesia membangun 14 negara Pasifik itu?

Pada sisi lain, pernyataan Menlu Retno dan Menkopolhukam Wiranto ini seolah-olah merendahkan dan melecehkan martabat negara-negara Pasifik itu. Pemerintah Indonesia memposisikan diri modern, maju maka mereka mau membangun negara-negara miskin dan terbelakang. Ini sebuah stigma yang selama ini ditujukan kepada rakyat Papua itu, dialihkan kepada negara-negara Pasifik itu. Sebenarnya Indonesia sendiri yang membutuhkan dan mencari dukungan di sana, bukan negara-negara Pasifik itu. Saya yakin negara-negara Pasifik akan melihat dan menganalisis hal-hal seperti ini dan mereka juga tidak hanya menerima tawaran ekonomi itu secara utuh. Karena sebuah negara tidak bisa dibeli dengan uang dan ekonomi. Mereka adalah negara yang memiliki integritas, martabat dan moral. Memang sisi lain hubungan ekonomi itu dapat melemahkan dukungan di negara-negara itu, tetapi mereka juga sebagai negara demokraksi memiliki harga diri dan jalan pikiran mereka sendiri, yang disebut Pacific way.  

Lanjut ke bagian ketiga wawancara: Ibrahim Peyon: Akar Persoalan Papua ada di PBB

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home