Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 17:19 WIB | Kamis, 07 Mei 2015

ISIS Mengancam Pluralisme Indonesia

Kiri ke kanan: Yoel M. Indrasmoro, Maruarar Siahaan, Ilmeda Sianipar (moderator), Sri Yunanto, Angel Damayanti, Ahmad Sajuli dalam seminar “Bahaya ISIS: Ancaman, Tantangan, Pencegahan dan Penanggulangannya" di Universitas Kristen Indonesia, Jakarta Timur, Kamis (7/5). (Foto: Melki Pangaribuan)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Persoalan Negara Islam Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and al-Sham/and the Levant/ISIS/ISIL) atau yang sejak tahun 2014 telah berubah menjadi IS (Islamic State) muncul sebagai sebuah gerakan Islam radikal yang bertujuan melawan kekuasaan pemerintahan Irak yang didukung oleh Amerika Serikat (AS) dan kekuasaan Bashar al-Assad di Suriah.

Aktivitas ISIS ini dapat dengan mudah berkembang karena mereka mendapat banyak dukungan dari kelompok-kelompok Islam radikal yang tersebar di seluruh dunia, termasuk kelompok Islam militan di Indonesia.

Angel Damayanti, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (FISIPOL UKI) mengatakan bahaya ISIS di Indonesia karena mereka ingin menggantikan sistem kenegaraan selain Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Dan karenanya mengancam pluralisme di Indonesia. Mereka menggunakan kekerasan terorisme dan mengancam perdamaian dunia,” kata Angel dalam seminar yang bertajuk tentang “Bahaya ISIS: Ancaman, Tantangan, Pencegahan dan Penanggulangannya" di Ruang Video Conference Lt. 2, UKI, Jl. Mayjen Sutoyo No. 2, Cawang, Jakarta Timur, Kamis (7/5).

“Mereka terlatih dalam menggunakan persenjataan, bahan peledak dan terlibat perang.  Jika anggota ISIS dari Indonesia kembali ke Republik Indonesia dikhawatirkan akan menebar ancaman teror dan terlibat hampir di semua insiden terorisme di Indonesia.”

Selanjutnya, kata Angel, cara menanggulangi radikalisme dapat dilakukan dengan cara hard approach atau pendekatan keras dan soft approach atau pendekatan lunak. Secara pendekatan keras yaitu dengan tindakan keamanan seperti penangkapan, penyerangan, pengadilan dan pemenjaraan yang dilakukan oleh pemerintah. “Selain itu, dengan pengadilan teroris yang dilakukan secara terbuka dengan liputan media.”

Sementara untuk pendekatan lunak dapat dilakukan pengawasan dalam rangka pencegahan terhadap lalu lintas orang, barang, dan pendanaan teroris. “Kita bisa mencounter radikalisai melalui media-media online facebook, youtube dikala ada ajakan seruan radikal, kita bisa menampilkan kebaikan agama,” kata Angel mencontohkan.

Menurut Angel ada empat hal yang menjadikan seseorang menjadi teroris dan radikal. “Pertama, seseorang menjadi teroris berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Untungnya lebih besar menjadi teroris,” kata dia.

Kedua, seseorang menjadi teroris karena didorong oleh faktor-faktor psikologis, “biasanya terjadi pada orang-orang yang memiliki identitas diri yang rusak.” Ketiga, ada banyak faktor seperti kepribadian, budaya, lingkungan. “Ada faktor ketidakadilan, ada kekecewaan, ditambah lagi lingkungan keluarga yang memang pola pikirnya dibangun secara radikal, sehingga dari banyak faktor itu orang menjadi teroris.”

Keempat, karena faktor agamanya itu sendiri. “Ketika agama sudah terinstitusionalisasi, ketika agama tidak dilihat lagi sebagai hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi dilihat sebagai simbol-simbol dan institusi yang digunakan sebagai kepentingan, maka agama dapat menjadi sumber konflik. Dan itu dapat digunakan sebagai alat untuk meradikal orang lain.”

Menurut Angel, radikalisme dalam agama bisa terjadi pada agama apa saja. “Di Yahudi ada kelompok zelot. Di Kristen pun ada Klu Klux Klan, kelompok poso, kelompok Ambon, Laskar Kristus, Kelelawar Merah dan kelawar hitam. Di Sri langka juga ada kelompok radikal yang membakar gereja dan juga masjid,” ujar dia.

Kondisi saat ini, lanjut Angel, yang kelihatan secara internasional adalah kelompok-kelompok dari agama Muslim. Namun, tidak semua penganut agama islam adalah teroris.

Budaya Digital

Semetara itu, Yoel M. Indrasmoro, anggota dewan redaksi media online satuharapan.com membicarakan "Pemblokiran Situs Radikal: seberapa efektifkah?". Menurut dia, pemblokiran situs hanya akan membuat orang yang awalnya tidak begitu peduli malah ingin tahu banyak.

"Yang bisa saja malah bersimpati, sekali lagi karena budaya demokratis setiap orang merasa bebas bersuara, yang intristik dalam internet. Maksudnya menghambat malah mengundang simpati."

Menurut Yoel, pemblokiran hanya akan memunculkan situs-situs baru. Pemblokiran hanya akan membuat si pembuat situs semakin yakin bahwa apa yang dipercayainya sungguh benar. "Bak pepatah, gugur satu tumbuh seribu. Semakin dibabat, semakin merambat," kata dia.

"Karena ISIS menggunakan budaya digital, ketimbang memblokir situs, yang lebih mengesankan atasan-bawahan bahkan aksi teror baru, maka pemerintah bisa menggunakan budaya digital yang sungguh-sungguh menjunjung kesetaraan itu. Pena dibalas pena. Ketimbang memblokir situs, pemerintah dapat membuat situs baru," kata dia.

“Kita perlu menggarami dunia digital. Sebagai homo sapiens, manusia bijak, kita dipanggil untuk menggarami dunia maya dengan budaya baru, budaya kemanusiaan yang merupakan rahmat bagi semua,” kata Yoel menegaskan.

Dalam seminar itu hadir juga Ahmad Sajuli, pengamat gerakan radikal di Indonesia yang mensharingkan “ancaman kembalinya pejuang ISIS ke Indonesia, berkaca pada pengalaman Jihadis Afghanistan dan Al Qaeda.”

Sementara pembicara lainnya, Maruarar Siahaan Rektor UKI memaparkan “pencegahan ISIS dari perspektif hukum Indonesia,” serta Sri Yunanto, staf ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengutarakan "perkembangan ISIS dan geopolitik di Timur Tengah”.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home