Loading...
INDONESIA
Penulis: Sabar Subekti 04:56 WIB | Jumat, 19 Juli 2013

Jangan Pakai Lagi Terminologi Mayoritas-Minoritas

Jangan Pakai Lagi Terminologi Mayoritas-Minoritas
Fajar Riza Ul Haq dari Maarif Institute. (Foto-foto: Sabar Subekti)
Jangan Pakai Lagi Terminologi Mayoritas-Minoritas
Sekretaris Umum PGI, Gomar Gultom.
Jangan Pakai Lagi Terminologi Mayoritas-Minoritas
Rafendy Djamin dari HRWG.

DEPOK, SATUHARAPAN.COM - Terminologi minoritas-mayoritas sudah semestinyatidak digunakan lagi dalamkehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam kebijakan pemerintahan, dan realitas kepentingan politik. Demikian dikatakan tokoh-tokoh agama, aktivis dan akademisi dalam acara Roundtable Discussion memperingati satu tahun Abdurrahman Wahid Center for Inter-faith Dialogue and Peace Universitas Indonesia (AW Center UI), hari Kamis (18/7) di Depok.

Fajar Riza Ul Haq dari Maarif Institute mengatakan bahwa secara konstitusional dan secara hukum terminologi minoritas dan mayoritas sama sekali tidak ada. Namun hal itu menjadi masalah karena ada realita politik yang memanfaatkannya untuk kepentingan kelompok.

Dia menambhakan bahwa satu kelompok menjadi mayoritas pada suatu tempat dan waktu, namun pada tempat dan waktu yang lain bisa saja kelompok itu menjadi minoritas. Oleh karena itu, dalam kehidupan bangsa yang diperlukan bukan soal minoritas dan mayoritas, melainkan membangun solidaritas di antara sesama warga bangsa.

Menurut dia,  solidaritas dibangun dengan sikap kalau tidak mau diperlakukan buruk oleh orang lain, semestinya tidak melakukan halyang buruk kepada orang lain.

Berkaitan dengan konflik yang timbul akibat digunakannya terminologi minoritas dan mayoritas, Fajar berpendapat bahwa pendekatan yang sentralistik untuk mengatasi konflik sering gagal, karena banyak konflik yang bersifat lokal. Sementara di tingkat daerah, pemerintah setempat sering gagap untuk menghadapinya.

Menurut dia, ada perkembangan yang justru perlu diwaspadai setelah reformasi Indonesia pada 1998. Pada awal reformasi sampai tahun 2008, kata dia, masalah yang muncul adalah keluarnya begitu banyak peraturan daerah (Perda) syariat yang tidak sejalan dengan konstitusi dan mengingkari pluralitas. Namu setelah itu hingga sekarang, Perda yang berbau syariat jumlahnya menurun, namun yang memprihatinkan adalah munculnya tindakan intoleransi dan sektarian.

Melukai Sang Pencipta

Sementara itu, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom, menegaskan bahwa dalam kehidupan berbangsa janganlah lagi memakai terminologi minoritas dan mayoritas. Konstitusi Indonesia tidak mengenal terminologi itu, dan yang dikenal adalah terminologi warga negara.

Dalam kaitan itu, negara berkewajiban melindungi hak warga negara. Namun dia menyayangkan bahwa dalam dua periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono setidaknya terjadi sekitar 200 kasus pelanggaran hak beribadan dan mendirikan rumah ibadah bagi umat Kristen. Hal itu terjadi karena masalah minoritas dan mayoritas digunakan untukkepentingan politik.

Dia menegaskan bahwa terminologi minoritas dan mayoritas juga tidak ada dalam kekristenan. Setiap manusia adalah ciptaan Tuhan, bahkan diciptakan dengan kemuliaan sebagai citra Tuhan (imago dei). Oleh karena itu, setiap perlakukan buruk pada manusia adalah melukai Tuhan, Sang Pencipta.

Hal itu ditegaskan lagi oleh Rafendi Djamin dari Human Right Working Group (HRWG) yang menyebutkan bahwa kewajiban negara bukan sajamelindungi hak warga negara, tetapi juga setiap manusia. Sebab, dalam kenyataan yang ada di Indonesia bukan hanya warga negara, tetapi juga manusia lain yang bukan warga negara, tetapi merupakan warga negara lain, bahkan para pengungsi yang belum mempunyai kewarga negaraan.

Negara berkewajiban melindungi manusia, bukan hanya karena mereka warga negara, tetapi karena mereka manusia, sekalipun bukan warga negaranya.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home