Loading...
EKONOMI
Penulis: Ignatius Dwiana 10:18 WIB | Sabtu, 11 Januari 2014

JATAM: Krisis Energi Terjadi di Lumbung Energi

Dari kiri ke kanan, moderator Bambang Catur Nusantara, Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratik, dan Emergency Response Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)Ki Bagus Hadi Kusuma. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia merupakan lumbung energi, tetapi krisis energi justru terjadi di Indonesia.

Pemerintah pernah mencanangkan "Fast Track Program", dengan membangun 35 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berdaya 10 ribu mega watt sebagai upaya pemenuhan kebutuhan listrik nasional. Tetapi, program itu tidak memikirkan pasokan sebagai hal yang penting. Batubara sebagai sumber pasokan listrik terus diekspor. Hal itu merupakan salah satu contoh yang menunjukkan terjadinya krisis energi di Indonesia yang merupakan lumbung energi.

“Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode gamang dan kehilangan arah dalam membangun ketahanan energi nasional. Walau memiliki Undang-Undang Kelistrikan, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Energi, Undang-Undang Mineral dan Batubara, dan Kebijakan Energi Nasional (KEN), rakyat semakin terbebani akibat kebijakan energi Pemerintah. Kenaikan BBM, listrik, dan terakhir di awal tahun 2014 kenaikan elpiji yang melonjak hampir 90 persen, menekan rakyat,” Kata Emergency Response Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Ki Bagus Hadi Kusuma, dalam seminar "SBY Mewariskan Kebangkrutan Energi" di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Kamis (9/1).

Kenaikan harga energi tetap saja menyulitkan rakyat mengakses energi. Kelangkaan BBM, elpiji, hingga lampu byar pet, terjadi hampir di seluruh Indonesia. Tidak terkecuali daerah-daerah penghasil sumber energi. Di antaranya Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan. Pemandangan rakyat antre BBM atau elpiji puluhan meter dan berhari-hari layaknya  jadi menu sehari-hari.

Kelangkaan merupakan potret ketidakmampuan pengurus negara menyediakan energi yang mudah diakses rakyat. Padahal, energi saat ini merupakan penopang roda ekonomi. Kenaikan harga dan kurangnya pasokan akan menimbulkan gejolak ekonomi atau biaya hidup yang tinggi.

 “Di sektor energi, ketergantungan terhadap sumber energi fosil menguat. Sementara di sisi lain inisiatif untuk pemanfaatan energi bersih dan terbarukan tidak berkembang. Hal ini semakin memperburuk krisis yang sudah terjadi,” ia menambahkan.

Krisis energi dan pangan merupakan dua hal paling mencolok selama 10 tahun terakhir pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, Indonesia negara agraris dan kaya sumber energi. Pangan dan energi merupakan dua sektor yang menyangkut hajat hidup banyak orang. Krisis keduanya merupakan hal memilukan.

Pembicara lain dalam seminar itu adalah Hendro Sangkoyo dari Sekolah Ekonomika Demokratik.

Seminar itu merupakan bagian dari kegiatan Jatam yang berlangsung dua hari bertema “Selamatkan Indonesia dari Politik Penjarahan Tambang dan Migas” pada Kamis (9/1) dan Jumat (10/1). Selain seminar "SBY Mewariskan Kebangkrutan Energi", acara lainnya adalah peluncuran "Sistem Data Informasi Daya Rusak Tambang (Sidarutam)", pameran foto, diskusi "Politik Penjarahan: Pembiayaan Pemilu 2014", dan pertunjukan musik NT4.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home