Loading...
HAM
Penulis: Bayu Probo 13:17 WIB | Kamis, 08 Mei 2014

JMPS: Tidak Boleh Ada Pembenaran Pemerkosaan

Algojo mencabuk delapan kali seorang wanita terkait kasus mesum (zina) saat eksekusi cambuk di Mesjid Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Jumat (10/12/10). (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) mengecam keras pemerkosaan yang menimpa perempuan (inisial Y) oleh delapan orang laki-laki di Gampong Lhok Bani Kota Langsa.

JMSPS beranggota Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), Kontras Aceh, LBH APIK Aceh, Pusat Studi Hukum dan HAM (PUSHAM), Yayasan Bungong Jeumpa (YBJ), Jari Aceh, Flower Aceh, Tikar Pandan, Dokarim, Solidaritas Perempuan Aceh, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).

Dari release yang diterima satuharapan.com, Kamis (8/5), JMSPS mendukung aparat penegak hukum mengungkapkan kasus ini, menangkap semua pelaku dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya. Kegagalan menindak suatu kejahatan akan mengakibatkan kejahatan itu berulang kembali.

Menurut JMPS Pernyataan Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa, Drs. Ibrahim Latief bahwa korban pemerkosaan itu akan segera dicambuk karena melanggar Qanun Khalwat berpotensi mengabaikan tindakan kejahatan pemerkosaan dan memberi peluang  bagi pelaku untuk lari dari tanggung jawab.

Menurut JMPS, kasus pemerkosaan dalam penegakan Qanun Khalwat seperti yang terjadi di Kota Langsa ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya di berbagai tempat di Aceh telah terjadi hal yang serupa.

Tindakan pemerkosaan ini memperpanjang daftar kekerasan yang dilakukan masyarakat (setelah tindakan pemukulan, pengarakan, pengeroyokan, dan pemerasan) dalam penegakan qanun-qanun syariat. Hal ini merupakan bukti nyata—menyempurnakan bukti-bukti sebelumnya—bahwa pasal tentang peran serta masyarakat dalam qanun-qanun tersebut harus dihapuskan.

Tindakan pemerkosaan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun, termasuk terhadap orang yang diduga melakukan Khalwat. JMSPS mendesak Pemerintah Kota Langsa dan aparat penegak hukum, untuk memastikan adanya proses peradilan yang adil dan bermartabat termasuk memastikan terpenuhinya hak-hak Y untuk mendapatkan pendampingan hukum dan pemulihan psikologis, sebagaimana telah dijamin dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dan Qanun No. 6 Tahun 2009 tentang Perlindungan Perempuan.

Sebuah peradilan yang adil kepada korban seharusnya lebih mendapat perhatian Kepala Dinas Syariat Islam setempat, sebelum membuat pernyataan publik yang mendahului keputusan pengadilan.

JMSPS melihat tindakan pemerkosaan tersebut merupakan buah langsung dari dibukanya ruang bagi masyarakat untuk bertindak sebagai penegak hukum. Pasal-pasal yang mengatur tentang peran serta masyarakat di dalam Qanun Khalwat, Maisir dan Judi telah mendorong masyarakat memosisikan dirinya sebagai penegak hukum yang bisa langsung memberikan hukuman tanpa proses peradilan (peradilan jalanan). Pembiaran terhadap tindakan peradilan jalanan bukan saja telah mendidik masyarakat untuk tidak taat hukum dan mengabaikan asas peradilan yang adil bagi orang yang diduga bersalah, tetapi juga memberi peluang bagi masyarakat sebagai pelaku kejahatan. (PR)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home