Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 08:19 WIB | Jumat, 06 Februari 2015

Jokowi dan Pemberantasan Radikalisme Agama

KBO Reskrim, Maulana M (kiri) dan Kanit II Reskrim Polres Tasikmalaya, Dandan Ramdani (kanan) memperlihatkan bendera serupa simbol ISIS di ruang gelar perkara Mapolres Tasikmalaya, Jalan Raya Mangunreja, Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (11/8). Bendera tersebut diamankan dari rumah E, warga Desa Ciapingeun, Kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya. (Foto: Antara/Adeng Bustomi)

SATUHARAPAN.COM – Dalam wawancara yang dilakukan wartawan senior CNN, Christian Amanpour, dengan Jokowi yang disiarkan oleh CNN, Minggu 31 Januari 2015, Jokowi ditanya banyak hal tentang bagaimana ia mengurusi negara Indonesia. Salah satu materi pertanyaan adalah bagaimana Jokowi menanggapi dan berusaha menyelesaikan persoalan radikalisme-ekstremisme agama dan kelompok-kelompoknya. Hal ini ditanyakan berhubungan dengan sepak terjang kelompok ekstrem ISIS atau NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah). Juga disinggung oleh Amanpour tentang sejumlah warga negara Indonesia yang pergi ke Irak dan Suriah dan bergabung dalam NIIS.

Jawaban Jokowi (dalam bahasa Indonesia yang ditimpali oleh suara wanita dalam bahasa Inggris) dimulai dengan menyatakan bahwa jumlah warga negara Indonesia yang bergabung dengan NIIS hanya sekitar 250 orang. Itu terbilang sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Islam Indonesia—yang menurut Amanpour sekitar 87% dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia saat ini. Memang, jumlah 250 Muslim juga termasuk sangat kecil jika dibandingkan dengan seribu lebih Muslim Inggris yang bergabung dengan NIIS. Karena itu, Jokowi menyiratkan bahwa ekstremisme, khususnya NIIS, di Indonesia tidak begitu berpengaruh atau diminati banyak orang Islam.

Jokowi selanjutnya menyatakan bahwa Islam di Indonesia umumnya berkarakter sangat moderat, yang mengakui dan dipengaruhi oleh nilai-nilai kultural dan sosial politik bangsa dan negara Indonesia. Bahwa kebanyakan umat Islam yang moderat itu ditampakkan oleh dua organisasi Islam terbesar di Nusantara ini, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Dua lembaga Islam ini sangat berpengaruh di dalam pembentukan karakter dan perilaku kultural-religius dan sosial-politik umat Islam di Indonesia. Jokowi melihat dan mempercayai tanggung-jawab lembaga-lembaga sosial-keagamaan Islam itu serta lembaga-lembaga keumatan Islam lainnya dalam menghadapi dan memberantas radikalisme-ekstremisme agama (Islam).

Berdasarkan hal itu, Jokowi mengatakan bahwa cara menghadapi kelompok-kelompok ekstrem agama adalah pendekatan religius dan sosial-budaya, bukan pendekatan hukum-politik-keamanan. Artinya Jokowi tidak mengedepankan penggunaan kekuatan aparat hukum dan angkatan bersenjata. Walaupun, beberapa waktu lalu, seorang “jihadis” NIIS asal Indonesia melalui media sosial-youtube, pernah menantang atau mengajak perang Panglima TNI. Jadi, Jokowi menolak penggunaan kekerasan. Istilah “perang” dengan senjata melawan ekstremisme tampak tidak menjadi jalan keluar yang ditempuh. Kecuali, usaha pemberantasan kelompok teroris yang menggunakan pendekatan keamanan yang sudah sejak lama dilakukan oleh pemerintah Indonesia, khususnya dengan tugas Densus 88.

Jokowi dan Relasi dengan Tokoh Agama

Dalam rangka menunjukkan peran dan mendayagunakan lembaga-lembaga keagamaan Islam dalam menunjang pelaksanaan program pemerintahannya, juga tentu dalam menghadapi radikalisme agama, Jokowi menjalin relasi yang intim dengan tokoh-tokoh Islam. Hasyim Muzadi, mantan Ketua NU, dan Malik Fajar, tokoh senior Muhammadiyah, masuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Tim 9 yang dibentuk, terutama dalam menyelesaikan persoalan calon Kapolri, terdapat Ahmad Syafii Ma'arif, mantan Ketua Muhammadiyah, dan Jimly Asshiddiqie. Tambahan lagi, Majelis ulama Indonesia yang dipimpin Din Syamsuddin, Ketua Muhammadiyah saat ini, juga kerap diminta bantuannya dalam penyelesaian berbagai persoalan masyarakat dan negara.

Di pihak lain, para menteri Jokowi yang berasal dari partai politik dan lembaga keagamaan dan pendidikan yang menunjukkan keislaman yang moderat tentu menjadi perpanjangan tangan Jokowi dalam mendukung usaha deradikalisasi agama-Islam. Khususnya peran Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, “wakil” dari PPP, sebuah partai “Islam” yang dianggap sebagai induk dari partai-partai berlabel Islam saat ini, tidak dapat dikesampingkan. Kementerian Agama RI tentu memiliki peran struktural dalam pembinaan umat beragama, sehubungan dengan hal ini adalah umat Islam, dan lembaga ini tentu punya pengaruh. Saifuddin yang sejak menjadi Menag di akhir masa pemerintahan Presiden SBY sudah mengungkapkan ide-ide rasional, moderat dan toleran dalam hal agama tentu akan berpengaruh dalam usaha pemerintahan Jokowi dalam melakukan deradikalisasi terhadap ajaran agama –Islam dan penganutnya.

Tentu kedekatan Jokowi dengan lembaga dan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh memiliki efek positif yaitu sebagai bentuk dukungan terhadap kebijakan kenegaraan Jokowi, terutama dalam mengatasi persoalan radikalisme-ekstremisme agama di Indonesia. Inilah yang Jokowi maksudkan dengan pendekatan sosial-kultural, kekeluargaan; pendekatan paternalistik dengan mendekati dan menonjolkan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan umat Islam dan masyarakat umum.

Ketokohan dalam Agama

Ulama atau tokoh agama, baik dalam organisasi keagamaan atau disebut pemimpin struktural-formal maupun dalam komunitas-komunitas tertentu atau disebut pemimpin individual, memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan umat. Pemimpin dapat dijadikan idola dan karena itu tentu pemikiran-pemikiran, ajaran atau nasihatnya akan didengar oleh umat atau pengikutnya. Umat mengikuti paham dan praktik agama yang tradisional-ortodoks, moderat, liberal dan radikal tentu karena terpengaruh oleh ajaran pemimpin mereka.

Di Indonesia, suara Hasyim Muzadi, Said Aqil Siradj, Syafii Ma'arif dan Din Syamsuddin tentu didengar oleh kebanyakan umat Islam yang mengikuti NU dan Muhammadiyah, baik melalui sekolah-sekolah, madrasah dan pesantrennya. Ulama-ulama ini, melalui lembaga yang mereka pimpin, termasuk MUI, telah menyatakan bahwa radikalisme dan atau NIIS, bukanlah islami. Umat lalu diajarkan dan diperingatkan untuk mewaspadai paham-paham radikal. Di pihak negara, program dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNKT). Hal ini lalu menjadi kebijakan-kebijakan yang diterapkan atau diajarkan di dalam lembaga-lembaga dan komunitas keagamaan dan pendidikan.

Pendekatan struktural dan ketokohan (paternalistik) ini tampak tidak ideal dalam masyarakat Indonesia yang modern dan demokratis saat ini. Namun demikian, dalam kehidupan beragama, khususnya menyangkut ajaran dan praktik hidup, pengaruh pemimpin, kiai atau ulama (juga pendeta, pastor, romo dan bhiksu) masih sangat kuat. Umat mau melakukan ajaran agama, termasuk berperang, karena pengaruh atau indoktrinasi pemimpinnya. Karena itu, memang tepatlah langkah yang ditempuh oleh Jokowi dalam menghadapi dan memberantas radikalisme agama; bukan pendekatan keamanan dan kekerasan, tetapi pendekatan sosial-religius-kultural; sebuah pendekatan yang lunak, bijak dan efektif.

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home