Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 15:24 WIB | Jumat, 24 Oktober 2014

Jokowi Effect Ancaman Serius bagi Malaysia

Presiden Joko Widodo (kanan) dan Perdana Menteri Australia, Najib Abdul Razak dalam foto selfie di Istana Negara Senin 20 Oktober 2014. (Sumber: akun facebook Joko Widodo).

KUALA LUMPUR, SATUHARAPAN.COM – Di balik foto selfie mesra antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Malaysia, Najib Abdul Razak, di Istana Negara Senin lalu, sejumlah aktivis politik mencium tersembul ancaman bagi stabilitas politik negara tetangga itu. Manakala Indonesia bergerak ke arah demokratisasi yang lebih matang, Malaysia dinilai  justru berjalan mundur ke arah otoritarianisme.

Dua media internasional terkemuka—Sydney Morning Herald (SYH) dan kantor berita Bloomberg—menurunkan artikel bernada serupa dalam sepekan terakhir.  Keduanya memperingatkan Najib tentang kemungkinan menjalarnya Jokowi Effect ke negara itu apabila tidak ada perubahan  yang lebih demokratis dalam struktur politiknya.

Melalui kolomnya yang berjudul One Step Forward for Indonesia, One Step Back for Malaysia di SYH, Peter Hartcher mengkontraskan Indonesia dan Malaysia dengan menunjuk fakta telah terjadinya transfer kekuatan politik di Indonesia secara damai. Di sisi lain,  partai yang berkuasa di Malaysia, UMNO, belum pernah berganti sejak negara itu merdeka tahun 1957.

SYH mengutip pendapat Rafizi Ramli, salah seorang politisi dari partai oposisi Malaysia yang baru-baru ini berkunjung ke Malaysia. "Sementara Indonesia membuat kemajuan besar, kami justru mundur dan ruang demokrasi kami kembali ke zaman Mahathir di era 1990-an," kata Rafizi.

Bangkitnya Jokowi sebagai presiden Indonesia, menurut SYH telah mempesona dunia. Euforia yang paling mirip dengan Jokowi yang digadang-gadang sebagai pemimpin rakyat ini, menurut media Australia itu, ialah terpilihnya Barack Obama di Amerika Serikat pada tahun 2008 lalu.

"Meskipun terlalu awal untuk menyebut, tetapi Jokowi telah dipuja sebagai wajah baru bagi demokrasi Indonesia dan jawaban bagi kerinduan rakyatnya akan reformasi," tulis SYH.

Di sisi lain, SYH mengutip penjelasan James Chin, seorang profesor Ilmu Politik di Universitas Monash kampus Malaysia. Chin mengatakan, di Malaysia saat ini yang terjadi ialah pembajakan politik oleh Islam politik. "Itu sungguh menakutkan saya. Mereka menyamakan supremasi Malaysia dengan supremsi Islam," kata Chin.

Ia menambahkan, batu penjuru partai berkuasa di negeri jiran itu selalu berupa politik diskriminasi. Hal itu dilakukan dengan memberi bantuan khusus untuk orang-orang Malaysia asli atas tanggungan masyarakat etnis lainnya, seperti China dan India.

Dan sekarang, lanjut dia, diskriminasi itu meluas pula menjadi diskriminasi agama. "Sebelumnya, mereka mencoba mengatur perilaku dan jasmani orang Islam. Sekarang mereka mencoba untuk mengatur perilaku yang bukan Islam juga," kata Chin.

William Pesek yang menulis untuk Bloomberg memperingatkan Najib akan dampak Jokowi Effect secara ekonomi dan bisnis. Menurut dia, dalam kolomnya, Beer Isn't Malaysia's Problem, Najib keliru karena telah memperluas program pro-Bumiputera yang digagas Barisan Nasional. Padahal, menurut dia, justru program semacam ini harus dikurangi apabila ingin meningkatkan daya saing Malaysia

"Para pemimpin Malaysia harus berjuang untuk memperbaiki iklim investasi melalui tata kelola perusahaan yang lebih kuat, dan memperluas pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas," kata Pesek.

Selanjutnya, Pesek juga menyarankan agar Pemerintah Malaysia mengurangi subsidi kepada perusahaan-perusahaan yang berafiliasi kepada Pemerintah. Pada akhirnya, kata dia, subsidi itu harus dihapuskan.

Diingatkannya pula bahwa prinsip globalisasi ialah memungkinkan semua negara untuk tumbuh dengan cepat.  "Jika Malaysia menolak untuk membuka diri dan menghindar dari menjalankan meritokrasi dengan benar—tempat di mana sosok seperti Jokowi bisa terpilih ke pentas kekuasaan melalui kotak suara—tetangga seperti Indonesia dan Filipina akan mencuri peluang investasi dan industri," tulis Pesek.

Pesek secara khusus memberikan peringatan kepada Najib Abdul Rajak, yang notabene adalah putra Perdana Menteri Malaysi tahun 1970-an, Tun Abdul Razak. Menurut Pesek, bagaimana pun para pemilih akan bertanya, mengapa orang seperti Jokowi bisa muncul menjadi pemimpin negaranya di Indonesia dan mengapa hal itu tidak bisa direplikasi di Malaysia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home