Jokowi, Jagalah “Waktu” Rakyat!
SATUHARAPAN.COM – Dalam perjalanan ke Jakarta untuk presentasi penelitian tentang gerakan sosial pro Jokowi, di ketinggian 10 ribu kaki, saya menonton film yang dirilis 2011, In Time. Film thriller fiksi ilmiah ini dibintangi oleh Justin Timberlake, Amanda Seyfried, dan Olivia Wilde.
Film yang disutradai dan diproduseri seniman sinematografi asal Selandia Baru, Andrew M. Niccol, ini berkisah tentang sebuah negeri pada tahun 2169, ketika manusia telah menjadi generasi dengan rekayasa waktu digital. Saat itu secara biologis manusia berhenti berkembang pada umur 25 tahun. Selanjutnya, panjang-pendeknya umur seseorang tergantung berapa banyak tabungan waktu digital yang ia miliki.
Penduduk di negeri itu terbagi pada dua zona waktu. Penduduk miskin yang bekerja setiap hari tinggal di Dayton. Adapun penduduk yang paling sejahtera tinggal di New Greenwich. Ingatan saya langsung mengarah pada istilah Thorstein Veblen, pakar ekonomi asal Norwegia, the leissure class: kelas ekonomi tertinggi mendapatkan banyak kehormatan dan kesenangan, dan pekerjaan tanpa berkeringat. Sebaliknya, masyarakat miskin yang terhina harus banting-tulang setiap hari.
Will Salas (Justin Timberlake) harus bekerja keras setiap hari bersama ibunya Rachel (Ovilia Wilde) untuk bertahan hidup. Ketika perjalanan menuju pabrik ia kerap menjumpai orang yang mati di jalan karena “kehabisan waktu”. Sementara masyarakat di New Greenwich bisa menikmati kehidupan serba lezat dan fasilitas mewah. Masyarakat kelas sejahtera tak pernah sibuk dengan waktu. Sistem ekonomi waktu mereka dilindungi sistem keamanan dan perbankan canggih.
Bagian dramatis film itu terjadi ketika Will harus harus kehilangan ibunya, yang tak sanggup membeli tiket pulang karena ongkos bus yang tiba-tiba naik. Will tidak sempat mentransfer bahkan hanya beberapa menit dari ratusan tahun deposit waktu yang dimilikinya, sedekah dari seorang kaya depresi dan kemudian bunuh diri. Kisah selanjutnya adalah perjuangan kelas pekerja memberontak dan merusak sistem waktu yang feodalistis dan tidak adil itu.
Dramaturgi Politik
Film itu saya tonton satu hari sebelum pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan kembali tarif dasar listrik (TDL) 1 September lalu. Tahun ini saja TDL telah tiga kali naik dan akan kembali naik pada November. Wacana kenaikan TDL seperti lepas dari perbincangan publik karena disuguhi drama kenaikan bahan bakan minyak (BBM) ancang-ancangnya akan dilakukan pemerintah Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Logika kenaikan BBM seperti telah menjadi kebenaran tunggal. Alasan BBM tidak tepat sasaran, sangat membebani APBN, mempersempit ruang fiskal, mengabaikan program kesejahteraan, dll memang masuk akal. Angka subsidi APBN-P 2014 cukup fantastis, Rp. 350 triliun. Tahun depan akan ada Rp. 400 triliun lagi BBM “dibakar” untuk 70 persen mobil pribadi.
Terlepas dari dramaturgi politik yang dimainkan SBY, terutama setelah pertemuan tertutupnya dengan Jokowi 27 Agustus lalu, pemerintah Jokowi – JK harus tetap sadar langkah. Pertemuan itu memang berhasil melekatkan citra seolah-olah Jokowi sama “neolib”-nya dengan pemerintahan SBY yang selama 10 tahun ini telah menaikkan 4 kali BBM dan sekali menurunkannya pada 2009 akibat protes keras publik.
Makanya penting mengingat, bahwa mencabut subsidi BBM di tengah kelesuan ekonomi rakyat dan terbengkalainya investasi energi akan menjadi bara baru bagi pemerintahan Jokowi – JK. Pelan-pelan batu ujian akan dilempar juga oleh publik, seberapa berbedakah mereka dengan pemerintahan sebelumnya?
Hasil penelitian saya dan kawan-kawa tentang gerakan sosial partisan (partisan social movement) relawan pro Jokowi (-JK) yang diprakarsai Abdurrahman Wahid Centre (AWC UI) sebenarnya memberikan harapan berlebih kepada JKW-JK akan melakukan perubahan fundamental. Belum pernah dalam sejarah republik ada gerakan yang berbasis kepada kesukarelaan (voluntarism) sedemikian besarnya seperti Pilpres 2014 lalu. Mungkin di dunia hanya ada dua, setelah Obama pada Pilpres 2008. Bahkan isu sektarianisme yang dimobilisasi secara terstruktur, sistematis, dan massif tak berhasil meninju KO Jokowi. Ia tetap terpilih sebagai presiden RI ketujuh.
Waktu Hidup Rakyat
Di balik wacana kenaikan BBM yang sama sekali belum dilakukan oleh Jokowi – JK, SBY sendiri telah berkali-kali mengurangi subsidi energi termasuk listrik. Publik memang pelan-pelan sadar dengan situasi pemerintah jika nanti menaikkan harga BBM, tapi tidak dengan listrik.
Hampir tak ada logika pembenar kalau listrik dianggap konsumtif. Untuk masyarakat termiskin sekali pun, listrik menjadi keperluan fundamental yang tak dapat dipisahkan. Anak-anak memerlukan lampu di malam hari untuk belajar. Kipas angin diperlukan di tengah situasi panas yang mengglobal. Pakaian perlu disetrika dengan arus listrik. Tak mungkin mendobi pakaian dengan setrika arang seperti kenangan masa kecil.
Karena tak punya mobil dan ongkos rekreasi, keluarga miskin hanya memiliki hiburan tunggal melalui televisi. Bahan makanan perlu disimpan di kulkas agar tidak membusuk dan layu. Mana mungkin setiap hari ke pasar. Ongkosnya dari mana?
Selama ini liberalisasi energi terjadi akibat politik salah urus. Pelbagai indikator seperti mafia migas dan Petral, tidak adanya pembangunan kilang migas berskala besar selama 20 tahun terakhir, gagalnya diversifikasi energi nonfosil seperti angin, air, sinar matahari, biogas, dan geotermal, termasuk macetnya proposal proyek 10.000 MW (Jusuf Kalla, “Solusi untuk Kelistrikan Kita”, Kompas, 3 Maret 2014), adalah kesalahan pemerintah. Tak elok jika rakyat tiba-tiba harus menanggung derita.
Pemerintah menjadi “agen neolib” jika gagal melihat inti kerakyatan dalam skema ekonominya dan melulu memelototi model komparasi harga dengan negara lain. Ini jeratan kapitalisme – jika istilah neoliberalisme terlalu lunak. Pemerintah selama ini membunuh dan mengotopsi institusi ekonominya sesuai dengan kerangka regulasi global (mereka menyebutnya peta jalan reformasi ekonomi yang sehat), yang dipromosikan IMF, World Bank, dan WTO. Tujuannya tak lain untuk mengonfirmasi kepada dunia internasional bahwa telah ada solusi atas pelbagai problem energi, sekaligus melegitimasi kebijakan dan berdansa “norak” untuk menarik perhatian investor asing (Curtis J. Milhaupt and Katharina Pistor, Law and Capitalism, 2008: 45).
Sampai hari ini, saya dan ratusan ribu relawan meyakini bahwa Jokowi dan JK tahu dimana letak “waktu rakyat” itu. Jika pun BBM harus dinaikkan, mereka musti tahu daya tahan 80 persen rakyat Indonesia yang masih kurang beruntung ekonomi. Filosofi Pancasila harus dipertimbangkan ketika membuat rencana pembangunan ekonomi di tengah rakyat yang semakin kehabisan darah akibat negara salah urus ini.
Jutaan rakyat akan semakin lemah, sakit, terluka, dan mati jika hajat hidupnya pelan-pelan diambil. Lautan rakyat akan hilang skema waktunya jika kebijakan neoliberalisme dipraktikkan tanpa reserve. Ini permasalahan serius bangsa. So, plizz Pak Jokowi dan JK, jagalah waktu rakyat itu!
Penulis adalah antropolog Aceh. Anggota Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI).
Antibiotik Dikonsumsi Sesuai Anjuran Dokter
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter spesialis anak sekaligus bagian Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak ...