Loading...
OPINI
Penulis: Anick HT 00:00 WIB | Kamis, 19 Juni 2014

Kampanye Negatif, Kampanye Hitam, dan Kampanye Jahat

SATUHARAPAN.COM – Bagi sebagian orang, Pilpres 2014 saat ini sudah bukan lagi wilayah diskusi argumentasi dan debat kusir, namun sudah bisa disebut sebagai medan perang. Apapun yang mendasari pilihan seseorang pada Calon Presiden tertentu, pertarungan yang dilakukan sudah pada taraf memilah kawan dan musuh, untuk kemudian menyerang musuh dan membela kawan secara membabi buta.

Pilpres kali ini juga bisa disebut Pilpres yang paling menguras emosi dan energi segenap elemen bangsa. Hampir tak tersisa satu label yang selama ini dianggap sebagai pilihan mulia: netral. Semua kalangan merasa harus mengambil sikap, harus berpihak. Tak terkecuali media massa yang terbelah karena preferensi pemilik modal atau preferensi awak redaksi.

Lalu apa salahnya berpihak? Tentu saja bukan keberpihakan yang perlu digugat. Bukan pula netralitas dalam arti tidak mendukung siapapun Capresnya yang perlu disesalkan. Bahkan dalam kondisi tertentu, keberpihakan adalah keniscayaan, seperti kalimat Desmond Tutu yang sangat terkenal: "If you are neutral in situations of injustice, you have chosen the side of the oppressor. If an elephant has its foot on the tail of a mouse and you say that you are neutral, the mouse will not appreciate your neutrality."

Yang perlu digarisbawahi dalam situasi euforia politik ini, bahkan perangpun memiliki aturan main dan kode etiknya. Bahkan dalam konteks hak asasi manusia, ada beberapa hak yang dikategorikan sebagai non-derogable rights (hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan perang).

Salah satu situasi yang cukup mengkhawatirkan dalam masa kampanye pilpres ini adalah tingkat intensi yang luar biasa dari apa yang disebut sebagai kampanye hitam. Alih-alih menjaga agar budaya demokrasi tanpa kekerasan semakin terbangun dengan kultur positif dan berorientasi program, dalam masa kampanye ini sangat kelihatan masing-masing pihak mencoba mencari atau mencari-cari kelemahan lawan, tanpa mempertimbangkan resiko sosial politik yang diakibatkan oleh jenis kampanye-kampanye semacam itu.

Lalu apakah kampanye harus selalu positif? Tentu saja itu mustahil. Bahkan, kampanye negatif justru diperlukan untuk menunjukkan ke publik bahwa Calon Presiden tertentu memiliki catatan faktual yang dianggap negatif, berpotensi merugikan, dan bahkan membahayakan kepentingan publik yang lebih besar. Track record, rapor merah, dan kasus kriminal seorang Calon Presden justru penting diketahui publik sebagai bagian dari pendidikan politik yang melahirkan pemilih-pemilih rasional. Tentu level yang lebih cerdas adalah kritisisme terhadap visi, misi, dan program yang digaungkan oleh Sang Capres.

Yang menjadi keprihatinan banyak pihak saat ini adalah apa yang disebut sebagai kampanye hitam. Kampanye ini cenderung dipenuhi dengan tuduhan, fitnah, dan prejudice yang diolah dan ditunjukkan ke publik sebagai fakta. Tingkat pendidikan masyarakat yang tak merata membuat kampanye semacam ini sangat efektif untuk membangun citra buruk serta mendiskreditkan dan menghakimi seseorang.

Pada masa kampanye pilpres kali ini, jenis kampanye semacam ini bisa kita lihat bahkan bukan hanya dilakukan oleh tim pendukung Capres tertentu saja. Media-media mainstream yang sudah sangat ketat dipagari dengan kode etik jurnalisme dan aturan undang-undang, juga sangat intensif memproduksi kampanye hitam, baik dengan cara mengaburkan fakta atapun dengan memproduksi fitnah sebagai fakta berita. Kampanye jenis ini sangat berbahaya terhadap bangunan kultur demokrasi dan toleransi yang dengan susah payah kita bangun bersama.

Di luar dua kategori kampanye tersebut, sebenarnya yang sangat memprihatinkan dan bahkan cenderung membahayakan adalah apa yang kemudian sering disebut sebagai kampanye jahat. Kampanye ini memanfaatkan sentimen masyarakat tertentu dan tingkat keterbatasan akses informasi komunitas tertentu untuk memproduksi kebencian terhadap Capres atau kelompok lain di luarnya. Kampanya jahat adalah penyebaran kebencian melalui bangunan opini dan isu yang masih sensitif. Contoh paling mudah adalah isu SARA. Pilihan agama seorang Capres, status pernikahan seorang Capres, dan orientasi seksual seorang Capres adalah wilayah terlarang untuk digunakan sebagai bahan mendiskreditkan mereka.

Namun justru pelaku kampanye jahat ini mengolah dan memproduksinya untuk menebar kebencian. Ini bukan saja berbahaya bagi proses Pilpres dan proses demokrasi, namun juga mengancam kultur toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan yang dibangun sekian lama oleh para pegiat pluralisme dan dialog antar-agama. Kategori kampanya jahat ini tidak lagi mempertimbangkan apakah yang dikampanyekan tersebut itu fakta ataupun fitnah. Sesuatu yang faktual seringkali dengan mudah di-framing dan diolah menjadi sumber kebencian. Yang lebih jahat dari itu semua adalah: mendesain dan menciptakan permusuhan, konflik, dan perpecahan antar-umat sebagai komoditas politik dan alat bargain untuk  perebutan kekuasaan.

Untuk kampanye jenis ini, sudah seharusnya negara bertindak dan memastikan bahwa pelaku penebar kebencian, pelaku kampanye jahat, diproses secara hukum. Negara harus memastikan bahwa sesuatu yang sifatnya prifat dan sensitif tidak dipolitisasi sedemikian rupa. Salah satu contoh paling baru adalah beredarnya Tabloid bernama Obor Rakyat ke masjid-masjid dan pesantren-pesantren di beberapa daerah di Indonesia. Tabloid ini jelas mengidentifikasi dirinya sebagai media, namun substansi materinya jelas melabrak Undang-undang Pokok Pers No. 11 tahun 1999.

Tabloid ini bukan saja berisi fitnah dan berorientasi kampanye hitam, namun juga menggiring pembacanya untuk memproduksi kebencian terhadap Capres tertentu, berdasarkan perbedaan agama dan etnis. Ini adalah preseden yang sangat buruk bagi proses demokrasi Indonesia yang semakin maju. Ini adalah kampanye jahat.

Terbongkarnya aktor di balik Tabloid ini harus menjadi catatan penting buat KPU, Bawaslu, dan Dewan Pers untuk bertindak, sebelum Indonesia kembali mundur pada konflik berbasis SARA dan perbedaan. Inilah saat di mana negara dituntut menjaga komitmennya untuk berbhinneka tunggal ika.

Penulis adalah Direktur Democracy Project


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home