Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 15:24 WIB | Senin, 25 Januari 2016

Kapolri Nilai UU Terorisme Perlu direvisi

Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti. (Foto: Dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti mengatakan, Undang-undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu direvisi.

Sebab, kata Kapolri belum ada aturan yang bisa menjerat tindakan pendahuluan terorisme seperti rekrutmen dan cuci otak.

“Belum ada aturan seperti doktrin radikal, cuci otak, rekrutmen, baiat yang menyimpang, ceramah provokatif, ajakan media sosial (Medsos), pelatihan militer secara tidak sah diperluas dengan kegiatan untuk membentuk atau meningkatkan kemampuan militer dengan peralatan militer‎,” kata Kapolri di dalam Ruang Rapat Komisi III di Kompleks, Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, hari Senin (25/1).

Rencana penggabungan diri ke dalam kelompok radikal baik di dalam atau di luar negeri, Kata Kapolri bahwa Polri perlu merekomendasikan untuk melakukan revisi UU penanggulangan terorisme yang dapat menjadi dasar dalam penindakan oleh Polri.

“Dalam revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 difokuskan untuk penguatan Polri dalam bukan penanggulangan terorisme, baik pencegahan, penegakan hukum dan deradikalisasi,” kata dia.

“Penambahan bab dan pencegahan, dan dimasukkan strategi preventive detection detention- ketentuan kesiapan tindak pidana dapat dilakukan penahanan dengan unsur 'patut diduga', ketentuan tersebut adalah lex specialist KUHAP dan KUHP,” dia menambahkan.

Selain itu, kata Kapolri perluasan kategori tindak pidana terorisme, antara lain, doktrin radikal, cuci otak, baiat terhadap organisasi teroris, ceramah provokatif, pelatihan kemampuan ala militer secara tidak sah, dapat digolongkan tindak pidana terorisme.

“Ada penguatan dalam hukum acaranya, yaitu penangkapan, yang semula tujuh hari menjadi ‎30 hari, penahanan yang semula 180 hari diusulkan menjadi 240 hari,” kata dia.

Kemudian, lanjut Kapolri dalam persidangan melalui teleconference untuk pemeriksaan saksi, karena saksi ini dilindungi dan terancam oleh mereka, sehingga perlu persidangan melalui teleconference.

“Penambahan bab tentang deradikalisasi. Terkait masukan dan Saran, percepatan diselesaikan RUU KUHAP, untuk mempercepat pembahasan RUU KUHAP, Polri menyarankan cara pembahasan yang selama ini menggunakan model dim diubah dengan menggunakan cara model pengelompokan clustering terhadap substansi yang diatur KUHAP,” kata dia.

Dengan demikian, kata Kapolri soal klaster yang paling ringan masalah dan bobot pengaturannya, termasuk substansinya apakah dapat menimbulkan pertentangan dan polemik di dalam masyarakat, atau membahas klaster yang paling berat ke arah yang paling ringan bobotnya. Terkait masukan RUU Polri.

“Kami harap menunggu RUU KUHAP. Harapan ini didasari dari pemikiran tahapan perubahan dimulai dari penyempurnaan aturan dalam KUHP, hukum material, dilanjutkan dengan perbaikan di KUHAP sebagai hukum formal, berikutnya UU yang mengatur para aktor atau pelaksana dua hukum tersebut dalam hal ini, Polri. Tahapan ini perlu dilakukan agar rumusan UU Polri bisa selaras dan harmonis dengan yang ada di UU yang baru terkait KUHAP dan KUHP, sehingga UU Polri ‎dapat efektif dan operasional dan mendukung tugas Polri sebagai penegak hukum,” katanya. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home