Loading...
EKONOMI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 23:46 WIB | Jumat, 10 April 2015

Kasus Benjina: Ada Uang Suap untuk Aparat KKP

Seorang saksi menunjukkan makam anak buah kapal di Benjina. (Foto: AP)

MALUKU, SATUHARAPAN.COM – Inspektur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Andha Fauzi mengungkapkan ada perkembangan terhadap penyidikan kasus perbudakan terhadap warga Thailand, Myanmar, Laos dan Kamboja oleh sebuah perusahaan perikanan di Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Ternyata selama ini pihak perusahaan kerap menyuap aparat pengawas dari KKP agar mereka mendapatkan izin untuk terus berlayar.

“Katanya dia harus merogoh kocek sekitar Rp 37 juta untuk para pengawas. Uang itu dipakai sebagai pelicin agar mendapatkan izin berlayar,” kata Andha dalam siaran pers yang dikeluarkan oleh KKP di Jakarta, Selasa (7/4).

Informasi tersebut dia dapatkan dari keterangan Penanggung Jawab Sementara (PJS) Kepala Cabang PT. Pusaka Benjina Resources Hermanwir Martino.

Untuk itu tim KKP akan menindaklanjuti kasus ini yang telah diselidiki dari tanggal 30 Maret hingga 6 April 2015 tersebut. Merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58 tahun 2014 tentang Disiplin Pegawai Aparatur Sipil Negara di lingkungan KKP dalam pelaksanaan Kebijakan Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap, Alih Muatan (Transhipment) di Laut, dan Penggunaan Nakhoda dan Anak Buah Kapal (ABK) Asing.

Penindakan tegas juga akan dilakukan bagi yang melakukan suap dan yang menerima suap. Tindakan tersebut diantaranya adalah untuk yang melakukan suap akan dilaporkan kepada pihak yang berwenang. Sementara yang menerima suap akan diproses sesuai ketentuan yang berlaku berdasarkan PermenKP Nomor 58 tahun 2014 dan PP Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Dari hasil penyidikan terhadap perbudakan di Benjina, tim KKP telah menahan sebuah kapal yang membawa ikan hasil tangkapan PT. Pusaka Benjina Resources.

Tim tersebut dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tim Penanganan Dampak Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI).

Susi mengungkapkan bahwa yang menjadi dasar prioritas pemberantasan illegal fishing adalah bukan hanya karena kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah. Namun karena illegal fishing ibarat kendaraan bagi berbagai kejahatan lain, seperti penyelundupan manusia, penyelundupan narkotika, dan perbudakan.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home