Loading...
RELIGI
Penulis: Martahan Lumban Gaol 18:58 WIB | Selasa, 09 Juni 2015

Ke DPR, Kelompok Minoritas Pertanyakan Kemerdekaan Beragama

Ilustrasi. Gedung Parlemen Senayan. (Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah kelompok minoritas dari Syiah, HKBP Filadelfia, Komunitas Rabuan, Organization of Ahlulbayt for Social support and Education (OASE), Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), dan Sunda Wiwitan, menyambangi Kantor Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, pada Selasa (9/6).

Anggota Komisi VIII DPR RI Jalaluddin Rakhmat menjelaskan kelompok minoritas meminta Komisi VIII DPR RI mendorong Kementerian Agama (Kemenag) agar menjalankan fungsi dalam menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk beribadah menurut agama dan kepercayaan, sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945 mengatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.".

“Intinya, dalam pertemuan tadi teman-teman kelompok minoritas minta perhatian lebih, dan mendorong Komisi VIII DPR RI agar mendorong Kemenag agar menjalankan fungsinya dalam menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk beribadah menurut agama dan kepercayaannya,” kata Jalaluddin kepada satuharapan.com, usai bertemu dengan kelompok minoritas, di Kantor Komisi VIII DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (9/6).

Menurut dia, kelompok minoritas tersebut juga menyampaikan berbagai tindakan diskriminatif Pemerintah Daerah yang tidak mengindahkan keputusan hukum. Seperti yang terjadi dengan GKI Yasmin, di mana Wali Kota Bogor tidak menjalankan keputusan Mahkamah Agung.

“GKI Yasmin, secara hukum mereka sudah boleh menjalankan ibadah, tapi pelaksana di lapangan tidak mengizinkan mereka, karena Wali Kota Bogor tetap tidak memberikan izin,” ucap Jalaluddin.

“Jadi ini seakan-akan keputusan Mahkamah Agung bisa dibatalkan oleh seorang wali kota,” dia menambahkan.

Selanjutnya, kata politisi PDI Perjuangan itu, kelompok minoritas juga menceritakan sering menyaksikan Pemerintah membiarkan peristiwa tindak kekerasan terjadi dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengatasnamakan kelompok mayoritas.

Oleh karena itu, Jalaluddin menerangkan, kelompok minoritas mengusulkan agar Komisi VIII DPR RI memberi perhatian lebih pada proses pembuatan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). Termasuk, agar semua fraksi di DPR RI bergerak demi mewujudkan kebebasan beragama. “Kami akan coba lakukan itu meminta dukungan fraksi, meminta mereka menggunakan hak-hak konstitusional mereka,” ujar dia.

Khawatir Kian Diskriminasi

Sementara, pengasuh Komunitas Rabuan Harjo Winoto mengatakan tujuan kehadirannya di Komisi VIII DPR RI karena mengkhawatirkkan RUU PUB kian mendiskriminasi kelompok minoritas. Dia pun mempertanyakan apa maksud dari penggunaan kata perlindungan dan bentuk perlindungan nyata yang akan dilakukan Pemerintah lewat RUU PUB.

“Apa yang mau diangkat dari RUU PUB ini, apakah hanya akan menambah diskriminasi pada kaum minoritas atau tidak? Kami mengkhawatirkan kasus seperti Ahmadiyah dan GKI Yasmin justru makin marak terjadi setelah undang-undang ini diterbitkan,” ujar Harjo.

“Kemudian perspektif apa yang mau dipakai, maksud melindungi itu apa, tindakan nyata dalam perlindungan itu apa?,” dia menambahkan.

Menurut dia, bila menggunakan kaca mata UUD 1945 yang telah diamandemen sebanyak empat kali, pertanyaan utama pada RUU PUB adalah terkait definisi agama. Sebab, nantinya undang-undang tersebut hanya mengakui enam agama (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu).

Harjo mengatakan, hal tersebut sebenarnya sudah mendiskriminasi kehidupan keberagamaan di Indonesia. “Secara undang-undang itu sudah diskriminasi, siapa yang menentukan? Syarat registrasi itu apa? Harus ujian atau bagaimana, lalu ujiannya apa? Kemudian siapa yang berhak menentukan kepercayaan yang boleh diakui dan memperoleh hak ‎sama persis nantinya?,” ujar dia.

Pengasuh Komunitas Rabuan berpendapat, hal tersebut masih butuh penegasan dan penjelasan lebih mendalam.

Perlu Dibuat Sanksi

Sementara, Pendeta dari Gereja HKBP Filadelfia, Edwin Lubis mengkritisi masalah sanksi yang diberikan undang-undang itu nantinya. Dia mempertanyakan, apa yang dilakukan Pemerintah bila ditemukan aparat atau oknum yang melanggar undang-undang terkait perlindungan umat beragama tersebut.

“Kami mengkritisi soal pelaksanaan, bagaimana ketika ada eksekutif melanggar undang-undang tersebut nantinya? Sanksi hukum apa yang akan diberikan,” ujar dia.

Artinya, Edwin melanjutkan, RUU PUB masih butuh penekanan dan penegasan lagi. Karena sebenarnya, di Indonesia banyak undang-undang yang sudah baik, namun akibat pelaksanaan di tingkat eksekutif, baik pada tingkat pusat ataupun daerah, buruk menjadi tidak strategis.

Editor : Bayu Probo

Ikuti berita kami di Facebook


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home