Loading...
RELIGI
Penulis: Martahan Lumban Gaol 17:42 WIB | Senin, 18 Januari 2016

Kebebasan Beragama di Indonesia Tahun 2015 Memburuk

Dari kiri: Peneliti Setara Institute, Halili Hasani, Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, Ketua Setara Institute, Hendardi, dan Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, hari Senin (18/1). (Foto: Martahan Lumban Gaol)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hasil riset Setara Institute menyatakan kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2015 memburuk, dibandingkan tahun 2014. Sebanyak 197 peristiwa dengan 236 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan terjadi di Indonesia selama tahun 2015.

“Sepanjang tahun 2015, Setara Institute mencatat terjadi 197 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan 236 bentuk tindakan yang tersebar di seluruh Indonesia. Dibandingkan tahun 2014, angka ini menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan,” kata Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, hari Senin (18/1).

Dia menjelaskan, perbedaan jumlah peristiwa dan tindakan disebabkan dalam sebuah peristiwa terjadi lebih dari satu tindakan.  Misalnya, Ismail mengambil contoh, dalam peristiwa pengusiran Jemaat Ahmadiyah, terjadi pengusir dan pembakaran rumah ibadah, artinya dalam peristiwa itu terjadi dua tindakan pelanggaran.

Lebih lanjut, dia menjabarkan, jumlah peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang terjadi pada tahun 2015 per bulannya, peristiwa paling banyak terjadi di bulan Juni, dengan jumlah 31, sedangkan paling sedikit terjadi di bulan September, dengan jumlah tujuh peristiwa.

“Bila dijabarkan per bulannya, peristiwa di bulan Januari ada 23, Februari terjadi 23, Maret ada 16, April ada 11, Mei terjadi 21, Juni terjadi 31, Juli ada 15, Agustus ada sembilan, September ada enam, Oktober terjadi 27, November ada tujuh, dan di bulan Desember terjadi delapan peristiwa,” katanya.

Untuk sebaran wilayahnya, Ismail menjelaskan, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan paling sering terjadi di Provinsi Jawa Barat, dengan jumlah 44 peristiwa. Di peringkat kedua, diduduki Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dengan jumlah 34 peristiwa. Peringkat selanjutnya diisi oleh Provinsi Jawa Timur dengan jumlah 22 peristiwa, kemudian disusul Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sebanyak 20 peristiwa, dan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah 10 peristiwa.

“Masuknya Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lima besar wilayah yang marak terjadi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan patut menjadi catatan. Setara Institute menganalisis ada tiga faktor, yaitu dinamika kepemimpinan di tingkat lokal, pertumbuhan kelompok sosial yang menampilkan wajah dan tindakan intoleran dan coba memanfaatkan keterbukaan masyarakat Yogyakarta, serta lemahnya kontrol legal dan sosial,” katanya.

Aktor

Ismail menyampaikan, dari 235 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi pada tahun 2015, 94 tindakan dilakukan oleh aktor-aktor penyelenggara negara. Dimana terdapat 17 institusi negara yang berkontribusi, seperti pemerintah kabupaten atau kota, kepolisian, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

“Pemerintah kabupaten atau kota melakukan 31 tindakan, kemudian kepolisian melakukan 16 tindakan, dan Satpol PP merupakan aktor yang melakukan 15 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ucapnya.

Dia menjelaskan, jenis tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang mayoritas dilakukan oleh negara adalah pemaksaan keyakinan. Kemudian penyelenggaran negara juga melakukan pembakaran atau perobohan rumah ibadah, kriminilasisi keyakinin, diskriminasi, hingga pembiaran aksi intoleran dilakukan terhadap agama tertentu.

Sementara, 135 tindakan pelanggaran lainnya dilakukan oleh aktor non negara, seperti warga, Front Pembela Islam (FPI), aliansi organisasi masyarakat Islam, Majelis Ulama Indonesia, dan tokoh agama. Jenis tindakan pelanggaran yang dilakukan seperti intoleransi, penyesatan agama, penyebaran kebencian, perusakan rumah Ibadah, dan penghentiaan kegiatan keagamaan lain.

“Tren pelaku tindakan pelanggaran dalam kategori aktor non negara tidak banyak berubah. Sebagaimana hasil-hasil pemantauan pada tahun sebelumnya, warga menjadi aktor dominan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada tahun 2015, tercatat warga melakukan 44 tindakan pelanggaran,” tutur Ismail.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home