Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Martin Lukito Sinaga 22:09 WIB | Minggu, 18 Agustus 2013

Kemerdekaan: Oleh Rahmat Tuhan yang Terbuka

SATUHARAPAN.COM - Tentang daya sintas atau survival Indonesia, Geertz pernah mencatat bahwa hal itu bukan karena kuatnya konsensus atau fondasinya, tetapi karena adanya sebentuk working misunderstanding. Mungkin maksudnya ialah bahwa sejak 1945 banyak pihak yang salah mengerti atau kurang sepakat satu dengan lainnya, tapi toh bisa bekerjasama, dan berjalan mengelola negara baru tanpa semua bertanda-tangan dulu. Saat itu mereka bahkan melupakan pendakuan ini itu mengenai bangsa yang muda. Bekerja “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”, berarti bekerja dalam banyak salah paham, satu dengan lainnya, namun di pihak lain gelanggang sudah tersedia, bernama Indonesia merdeka.

Karena itu, Indonesia tidak menyandarkan kemerdekaannya pada landasan primordial yang pasti, tapi pada ihwal yang jauh, mulia, abstrak yang dipinjam dari prinsip lintas-agama, yaitu rahmat ilahi. Perlu memang bangsa yang majemuk ini naik banding ke rahmat Tuhan, agar Indonesia tidak dilihat sebagai kepanjangan kepentingan mayoritas suku atau agama tertentu, dan tidak pula dicetak sebagai perluasan ideologi kapitalisme, komunisme  atau Kristen dan Islam. Ia tercipta karena rahmat ilahi yang sedemikian terbuka dan turah, yang membuat warganya leluasa bekerja dan membangun kehidupan bersama.


Rekonsiliasi

Tentu ada yang mencemaskan di sini, dan sampai kini kita pun merasakannya. Kita jadinya hidup dalam medan bermasyarakat yang tak menentu, dengan kesepakatan yang begitu minimalnya. Tiba-tiba dalam sejarah negeri ini hidup bisa berarti revolusi –dan darah bergelimpangan di ujungnya; atau hidup berarti orde teratur dengan tangan besi –dan orang bisa hilang dengan misteriusnya; atau hidup adalah reformasi total, tapi kita tak tahu apa yang tengah diperbaharui. Karena itu Geertz pernah juga mencatat bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang tersandung  oleh satu hal dan hal lain, tanpa pernah bisa berjalan tegak meraih masa depannya.  

Tapi tentu kita tak sudi menjadi seperti Malaysia. Ia merdeka, tapi fondasinya diletakkan pada puak Melayu. Juga tak mau seperti Thailand, dimana Raja dan Buddhisme menjadi tumpuan hidup bersama. Seperti Singapura yang kaya pun kita tak rela, di situ hidup terkungkung dalam disiplin dan di bawah bayang-bayang kontrol sekumpulan penguasanya.

Lantas, apakah artinya sebuah bangsa yang memulai dan mau melanjutkan hidupnya di  bawah rahmat Tuhan?   Tak mudah menjawab hal ini. Mungkin maknanya akan tampak kalau kita menemukan lagi makna hidup berbangsa yang rela melakukan rekonsiliasi terus-menerus.

Rekonsiliasi adalah gerak unik jiwa manusia, sebab di situ kita datang kepada “yang lain’ dengan pengakuan bahwa ada yang tidak adil dan mendukakan dalam kehidupan bersama. Rekonsiliasi adalah suatu gerakan sosial-kultural yang berniat membangun-ulang kehidupan bersama setelah semua luka diakui dan kesalahan ditelanjangi. Sebab hanya dengan rekonsiliasi, masyarakat itu bisa mengatasi –apa yang Hannah Arendt katakan sebagai ”the predicament of irreversibility”. Artinya, rekonsiliasi  -yang bergerak antara pengakuan dan penerimaan-  akan memungkinkan masyarakat keluar dari lingkaran keputusasaan akibat telah terjadinya pengabaian ataupun kesewenang-wenangan yang menguntungkan sedikit orang. 


Dari situ bisa dibangun agenda hidup bersama yang baru. Dengan kata lain, kita hendak meniru proses rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan  -yang dirumuskan oleh pemikirnya de Gruchy- bahwa “seeking reconciliation was, paradoxically, an instrument of the struggle to end apartheid and establish a just social order”.

Sumbangan Agama

Dengan demikian bangsa yang mengacu pada rahmat Tuhan selaku kaki langit identitas dirinya, ialah kaum yang bersedia membuka diri pada proses rekonsiliasi antara berbagai anasir dalam tubuhnya, agar dari situ agenda bersama demi keadilan dapat dikerjakan. Kalau ini menjadi working understanding bersama di negeri ini, dan bukan lagi working misunderstanding ala Geertz di atas, maka kita mungkin telah melangkah keluar dari sandungan yang bisa menjatuhkan itu.

Kemampuan rekonsiliatif yang unik tersebut, bagaimanapun juga diberi dalam rahmat Tuhan, dan secara istimewa diarahkan-Nya agar mereka yang menanggung  ketidakadilan dipulihkan martabatnya. Kita percaya bahwa Tuhan juga memulai memulihkan kehidupan yang didera ketidakadilan, dan pemulihan itu terjadi saat “bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya”. Dalam pada itu Indonesia adalah ciptaan baru. Di sinilah kepentingan penegasan acuan pada rahmat itu, bahwa karena Tuhan memberi rahmat-Nya bagi semua, maka ia akan memberi kita cara baru untuk berelasi  dan cara baru untuk merancang keadilan.

Maka merancangbangun keadilan di negeri ini, itulah yang menjadi inti dan tugas kemerdekaan saat ini, dan itu pulalah yang menjadi ruang unik kerjasama agama-agama di Indonesia. Struktur sosial yang adil akan tampak kalau agama-agama antara lain bisa melakukan intervensi saat hidup bersama berkembang ke arah pengabaian atau pun pengutamaan kelompok tertentu.

Kini, setelah reformasi bergulir, tampaknya hidup bersama kita tengah mengabaikan buruh, petani dan orang kampung, tapi mengutamakan pemilik modal, profesional dan orang kota. Agar negeri kita tak tersandung lagi di tengah era Reformasi ini, maka rekonsiliasi yang mencari keadilan harus diupayakan melintas kelompok-kelompok ekonomi tadi, –dan agama-agama kali ini perlu menunjukkan apa artinya bahwa ia percaya  pada rahmat Tuhan yang terbuka dan adil itu.

 

Penulis adalah dosen di STT Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home