Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 00:16 WIB | Minggu, 08 November 2015

Kemlu Bantah Bayar US$ 80.000 agar Jokowi Dapat Bertemu Obama

Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden AS, Barack Obama di Gedung Putih, Washington (Foto: setkab.go.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyesalkan terbitnya artikel yang ditulis Michael Buehler, dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London.

Dalam  artikel yang berjudul Waiting In The White House Lobby”  yang dilansir pada Jumat (6/11) dikatakan adanya peran broker dalam pertemuan antara Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Barrack Obama, di Gedung Putih, Washington DC, Senin (26/10) lalu.

Artikel itu bahkan mengatakan Indonesia membayar US$ 80.000 kepada pelobi agar dapat mengatur pertemuan. Tidak lupa diunggah pula salinan kontrak dengan perusahaan konsultan tersebut.

Kemlu membantah artikel tersebut. “Isu yang diangkat sangat tidak akurat, tidak berdasar dan sebagian mendekati ke arah fiktif,”  Kementerian Luar Negeri RI mengatakan melalui siaran persnya Sabtu (7/11).

Ditegaskan dalam siaran pers yang dilansir juga oleh situs resmi Sekretaris Kabinet, kunjungan Presiden Jokowi ke Amerika Serikat adalah atas undangan Presiden Obama yang disampaikan langsung pada saat pertemuan bilateral di sela-sela KTT APEC 2014 di Beijing pada 10 November 2014.

“Undangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan undangan tertulis yang disampaikan melalui saluran diplomatik,” jelas siaran pers Kemlu. Namun karena  jadwal Presiden Jokowi dalam merespons berbagai isu penting dan mendesak mengakibatkan undangan ini baru dapat dipenuhi pada tanggal 25-27 Oktober 2015.

Dikatakan, sama halnya dengan persiapan kunjungan Presiden RI ke negara-negara lain, persiapan kunjungan ke AS tersebut dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga, parlemen, KBRI Washington D.C., Konsulat Jenderal RI di San Francisco, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, serta kalangan bisnis dan para pemangku kepentingan lainnya.

Persiapan untuk kunjungan tersebut, lanjut siaran pers Kemlu, juga mencakup sejumlah pertemuan tingkat menteri dan kunjungan timbal balik para menteri dan pejabat tinggi dari kedua negara, sejumlah misi bisnis, dan puncaknya adalah pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat di Washington, D.C. pada tanggal 21 September 2015.

Dibayar Bertahap

Bantahan Kemlu berkebalikan 180 derajat dengan apa yang ditulis oleh Buehler. Menurut Buehler, kunjungan Jokowi ke AS terkesan kurang koordinasi, tanpa agenda yang jelas. Lebih dari itu, tercium adanya rivalitas antara Menlu Retno Marsudi dan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan dalam mengatur perjalanan presiden ke AS.

Buehler dalam tulisannya juga menggambarkan betapa bingungnya diplomat AS ketika dalam rapat-rapat mempersiapkan kunjungan Jokowi, tidak ada agenda yang fokus yang ingin dicapai.

Di mata Buehler, hasil dari kunjungan ke AS juga jauh dari menggembirakan, berbeda dengan pernyataan pejabat pemerintah yang mengatakan puluhan miliar dolar kesepakatan bisnis dicapai di AS.

Menurut Buehler, hanya ada tiga Nota Kesepahaman yang ditanda tangani selama kunjungan itu. Itu pun merupakan nota kesepahaman yang tidak mengikat. Selain itu ada satu deklarasi bersama mengenai kerjasama pertahanan.

Adanya kesalahpahaman dalam mengartikan kunjungan Jokowi diikuti dengan buruknya eksekusi, kata Buehler, mencerminkan kurangnya koordinasi dalam agenda luar negeri Indonesia. Buehler mencium, sumber utama macetnya koordinasi dikarenakan keretakan dalam hubungan Menlu Retno Marsudi dan Menkopolhukam, Luhut Panjaitan yang juga kepala staf kepresidenan.

Adanya keretakan itu sudah dimulai oleh perjalanan Luhut Panjaitan ke AS untuk mempersiapkan kunjungan Jokowi, area yang seharusnya menjadi tugas Menlu Retno. Tidak mengherankan, Tjipta Lesmana, salah seorang pengamat komunikasi publik, mengeritik keberangkatan Luhut yang dianggap melangkahi wewenang Retno.

Namun yang paling mengejutkan dari artikel yang ditulis Buehler adalah adanya sebuah kontrak dengan konsultan sebesar US$ 80.000 untuk memuluskan pertemuan Jokowi dengan Obama. Sebuah kontrak jasa yang ditandatangani pada 8 Juni menunjukkan adanya penugasan  dari Pereira International PTE Ltd kepada R & R Partners yang berbasis di Las Vegas.

Dalam kontrak tersebut  R & R Partners menjual jasa lobi dengan bayaran US$ 80.000, yang dibayar dalam empat angsuran antara 15 Juni dan 1 September. Konkretnya, R & R Partners setuju untuk "dipakai sebagai konsultan oleh cabang eksekutif pemerintah Indonesia."

Di antara berbagai tugas R & R adalah  mengatur dan menghadiri pertemuan dengan pembuat kebijakan kunci dan anggota Kongres dan cabang eksekutif termasuk Departemen Luar Negeri AS.

Selain itu, "mencoba untuk mendapatkan  kesempatan berpidato pada  sesi gabungan Kongres selama kunjungan Presiden Indonesia Widodo ke AS," dan, "Mengidentifikasi dan bekerja dengan individu yang berpengaruh, media, organisasi publik dan swasta dan afiliasinya di AS untuk mendukung upaya Presiden Widodo."

Berdasarkan informasi yang didapatkan Buehler, diperoleh fakta bahwa Darwin Pereira, konsultan Singapura yang membayar $ 80.000 kepada R & R Partners, memiliki hubungan yang dekat dengan Luhut Panjaitan. Ketika menjadi wartawan, Darwin Pereira berkali-kali menulis tentang Luhut Panjaitan di The Straits Times.

Kendati demikian, Buehler mengakui ia tidak memiliki bukti Luhut Panjaitan menginstruksikan Pereira membayar R & R Partners sebesar US$ 80.000 untuk layanan lobi. Namun, kata dia, hal ini justru menimbulkan pertanyaan, siapa di dalam pemerintahan Jokowi yang memerintahkan Pereira melakukan pembayaran. "Apakah itu dilakukan dalam koordinasi dengan Kemlu atau merupakan upaya jalan pintas memotong kementerian?" tanya Buehler

Tidak Pakai Pelobi

Kemlu lagi-lagi membantah dan  melalui siaran pers ditegaskan bahwa pemerintah RI tidak menggunakan jasa pelobi dalam mengatur dan mempersiapan kunjungan Presiden ke Amerika Serikat. Kementerian Luar Negeri juga tidak pernah mengeluarkan anggaran Kementerian untuk jasa pelobi.

"Namun Kemlu memahami bahwa penggunaan jasa pelobi merupakan bagian nyata dari dunia politik di Amerika Serikat, dan seringkali digunakan oleh pemangku kepentingan, dan Pemerintah negara-negara lain di dunia untuk memajukan kepentingan mereka di Amerika Serikat," demikian siaran pers itu.

Terkait tuduhan adanya perselisihan antara Menteri Luar Negeri dengan menteri lain pada saat persiapan kunjungan Presiden Jokowi ke AS, sebagaimana ditulis artikel Michael Buehler, Kemlu  menyesalkan bahwa seorang akademisi yang terhormat dapat menyampaikan suatu pernyataan yang tidak benar.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home