Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 17:59 WIB | Jumat, 06 Maret 2015

Kemungkinan Indonesia Tanpa Hukuman Mati

SATUHARAPAN.COM – Dunia masih memperdebatkan hukuman mati bagi penjahat (terpidana). Di satu sisi ada resolusi PBB dan kampanye oleh pegiat hak asasi manusia yang mempromosikan dihapuskannya hukuman mati di seluruh dunia, di sisi lain masih banyak negara yang menerapkan hukuman mati.

Indonesia tengah menghadapi sorotan itu sejak melaksanakan hukuman mati bagi sejumlah narapidana kasus narkotika, dan beberapa narapidana tengah dalam proses eksekusi vonis mati itu, setelah permohonan grasi mereka ditolak oleh Presiden.

PBB telah mengajukan penghapusan hukuman mati dalam rtesolusi pada tahun 2007, kemudian pada sidang Majelis Umum pada November 2008 resolusi itu disetujui oleh 104 negara, 48 menolak, dan 31 lainnya abstain.  

Beberapa kali diajukan dalam sidang Majelis Umum, terakhir resolusi keempat diajukan dan dibahas pada sidang Desember 2012. Ada 111 negara yang menyetujui, 41 negara menentang, dan 34 negara abstain. Namun ketika itu ada tujuh negara yang tidak hadir dalam pemungutan suara.

Berdasarkan resolusi inilah maka setiap kali ada negara melaksanakan hukuman mati, Sekjen PBB atau pimpinan lembaga PBB terkait selalu menyuarakan untuk dibatalkannya hukuman mati. Hal ini bukan saja tehadap Indonesia, tetapi juga terhadap Mesir yang telah beberapa kali menjatuhkan hukuman mati secara masalah terhadap pemimpin Ikhwanul Muslimin.

PBB juga selalu menyerukan hal yang sama kepada Bangladesh ketika pengadilan negara itu menjatuhkan hukuman mati kepada sejumlah pemimpin partai Islam yang dinilai terlibat kejahatan dalam perang kemerdekaan tahun 1971. Dan malam kenyataan masih banyak negara UU-nya menyebutkan adanya hukuman mati, dan juga masih banyak yang melaksanakan hukuman mati.

Hukuman Mati di Indonesia

Secara faktual hukuman mati masih ada dalam sistem undang-undang di Indonesia. Sejumlah kejahatan diancam dengan hukuman mati yang pelaksanaannya dilakukan di hadapan regu tembak. Di sisi lain, banyak warga Indonesia yang terlibat kasus hukum dan dipidana dengan hukuman mati. Mereka sedang dalam ancaman pelaksanaan hukuman mati di negara lain, terutama di Arab Saudi dan Malaysia.

Sejauh ini sejumlah kalangan masih mendukung hukuman mati, karena kaitan dengan kejahatan yang dampaknya cukup luas dan serius, seperti pembunuhan berantai dan kejahatan narkotika, serta kejahatan itu dinilai sebagai ancaman yang serius.

Di sisi lain, para pegiat HAM menolak hukuman mati, karena menilai hal itu melanggar HAM di mana negara sekalipun tidak punya hak untuk menghilangkan nyawa orang. Selain itu, pihak gereja di Indonesia, seperti disampaikan PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) juga menolak hukuman mati.

PGI seperti disampaikan Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia, Jeirry Sumampow, menilai hukuman mati bertentangan dengan hakikat kehidupan yang diberikan Allah, Sang Pencipta, serta Pemelihara Kehidupan.

Grasi dan Pengakuan

Di tengah perdebatan ini, ada baiknya dilihat masalah lain yang terkait, yaitu permohonan grasi yang diajukannya terpidana. Namun grasi ini belum ‘’dikelola’’ secara maksimal. Terpidana mengajukan grasi,namun tidak menunjukkan esensi dari grasi (yang secara umum bisa dikatakan sebagai ‘’anugerah pengampunan’’). Sebab, permohonan grasi haruslah mengandung suatu pengakuan bersalah atas kejahatan yang dilakukan. Tanpa itu grasi hanya ‘’cara’’ menghindari hukuman.

Grasi juga seharusnya terkait dengan perubahan perilaku yang bersangkutan. Hal ini membutuhkan pembuktian nyata. Kita ingat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan grasi untuk terpidana kasus narkotika warga Australia, Schapelle Leigh Corby, diprotes warga, karena tidak cukup pertimbangan bahwa terpidana menyatakan pengakuan, penyesalan dan perubahan perilaku.

Terpidana mati, bisa menunjukkan perubahan itu antara lain dengan menjadi justice collaborator, untuk membantu membongkar kejahatan terkait hingga tuntas. Terpidana yang seperti itu pantas memperoleh ‘’anugerah pengampunan’’, dengan minimal dihidarkan dari hukuman mati.

Apakah pembinaan di penjara selama ini, khususnya bagi terpidana mati, telah bisa dikelola untuk proses perubahan itu. Semangat ini juga harus dilakukan dalam memberikan remisi (pengurangan hukuman) melalui pertimbangan yang ketat dan jangan dijadikan ajang transaksi keadilan. Kedua hal itu juga mengandaikan bahwa proses peradilan berjalan dengan baik. Sebab, kritikan terhadap pelaksanaan hukuman mati, juga diwarnai tudingan adanya permaian uang.

Vonis untuk Setiap Kejahatan

Selain grasi, hal lain yang pantas dipertimbangkan adalah vonis dijatuhkan untuk setiap jenis kejahatan yang bisa dibuktikan di pengadilan. Selama ini yang digunakan dalam peradilan kita hukuman dijatuhkan secara keseluruhan untuk kejahatan yang dibuktikan dalam pengadilan. Biasanya terkait pada kejahatan dengan ancaman hukuman tertingi. Namun rakyat sering kecewa, karena hukumannya terlalu rendah, jauh dari ancaman yang disebutkan dalam undang-undang.

Para pakar hukum pantas untuk mengkaji hal ini dengan lebih mendalam agar sesuai sistem hukum yang dianut. Hal itu memungkinkan terpidana harus bertanggung jawab atas setiap kejahatan yang dilakukan dan terbukti. Dengan begitu, hukuman mati bisa dihindari, tanggung jawab hukum tetap maksimal, tanpa terpidana kehilangan hak atas hidup.

Seorang dengan banyak kejahatan, seperti perampasan harta, pembunuhan, perusakan fasilitas, perkosaan, penyikasaan, dan kejahatan lain yang terbukti bisa menghadapi ancaman hukuman sampai ratusan tahun penjara. Namun dengan tidak ada hukuman mati terpidana bisa hidup ‘’dengan martabat’’ melalui perubahan perilaku sebagai pendukung keadilan.

Hal-hal di atas pantas dipertimbangkan dalam membangun sistem dan praktik penegakan hukum yang memberikan keadilan secara nyata, sekaligus berwajah kemanusiaan dan beradab.  Di sisi lain kita memang menghadapi protes keras antara lain akibat penegakkan hukum dan keadilan di negeri ini masih disorot tidak fair, karena kedadilan dilecehkan oleh adanya kasus transaksi uang.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home