Kesatuan Nelayan: Impor Ikan adalah Kejanggalan Sistematis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai kebijakan importasi ikan untuk menutup kekurangan bahan baku industri pengolahan di tengah kenaikan produksi ikan secara nasional adalah kejanggalan sistematis.
“Kebijakan ini mencederai rasa keadilan nelayan kecil, yang menaruh harapan besarnya terhadap pemerintah. Terlebih, PDB perikanan yang meningkat di tengah kelesuan ekonomi global, menunjukkan performa ekonomi perikanan yang baik, sungguh sangatlah janggal bila impor ikan menjadi pilihan,” kata Wakil Sekjen Dewan Pengurus Pusat (DPP) KNTI, Niko Amrullah, dalam siaran pers, hari Kamis (9/6).
Jika merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2014, produksi total perikanan tangkap di laut menunjukkan tren peningkatan dari 4.812.235 ton di tahun 2009 menjadi 5.779.990 ton di 2014 dengan kenaikan rata-rata sebesar 3,75 persen dan 1,28 persen pada setahun terakhir (2013-2014). Untuk jenis ikan tuna, terjadi peningkatan dari 163.965 ton pada tahun 2009 menjadi 310.560 ton pada tahun 2014. Sedangkan untuk udang, meningkat dari 236.870 ton pada tahun 2009 menjadi 255.410 ton pada tahun 2014.
Selain itu, lanjut Niko, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka deflasi di bulan April tahun 2016 mencapai 0,45 persen, dengan penyumbang deflasi diantaranya adalah kelompok bahan makanan termasuk ikan segar dan ikan olahan. “ Penurunan harga ikan ini karena stok yang berlebih,“ kata dia.
Menurut Niko, kebijakan importasi ini kontraproduktif dengan kebijakan yang ditempuh pemerintah sendiri dalam urusan kedaulatan di sektor hulu perikanan. Bahwa dibukanya investasi di sektor pengolahan perikanan, harus gayung bersambut dengan serapan produksi ikan dari nelayan domestik.
“Celakanya, peningkatan rata-rata Nilai Tukar Nelayan (NTN) pada dua tahun terakhir (2014-2015) dianggap keberhasilan, padahal bila ditelaah bulan per bulan pada setiap tahunnya, menunjukkan pola yang sama. Jadi, peningkatan ini lebih disebakan karena faktor inflasi, bukan keberhasilan intervensi pemerintah”, tutur Niko.
Saat ini, dikatakan pula oleh Niko, yang perlu dilakukan adalah menyerap hasil tangkapan ikan dari nelayan, khususnya nelayan kecil, sekaligus mengoptimalkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan dipastikan sampai kepada nelayan kecil, agar permasalahan modal bukan lagi menjadi hambatan utama.
“Kami menduga adanya permainan importir dengan oknum pemerintah yang berorientasi profit semata,” katanya menambahkan.
Editor : Eben E. Siadari
Penasihat Senior Presiden Korsel Mengundurkan Diri Masal
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Para penasihat senior Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, termasuk kepala...