Loading...
ANALISIS
Penulis: Albertus Patty 14:09 WIB | Selasa, 30 Maret 2021

Ketika Bom Itu Meledak

Albertus Patty

SATUHARAPAN.COM-Saat mendengar berita ada bom meledak di gereja Katolik Makasar, seharusnya kita mulai bertanya: apa akar dari aksi kekerasan dan terorisme ini?

Kekerasan dan terorisme bisa muncul dari umat beragama mana saja. Aksi kekerasan itu mendegradasi kemanusiaan sang teroris, dan juga menghancurkan kemanusiaan sang korban. Dari mana akar kekerasan itu? Jawabannya bisa dari mana saja. Tidak pernah ada satu faktor tunggal dalam aksi-aksi terorisme.

Salah satu akar kekekerasan terletak pada penghayatan keberagamaan personal banyak umat beragama yang cenderung sempit, fundamentalistik dan eksklusifistik.

Dalam konteks sosial, terutama dalam relasi dengan umat lain, baik yang seagama maupun yang beda agama, kaum fundamentalis membangun sikap oposisi biner yang polaristik: Kami vs Mereka. Yang lain itu sesat, kafir dan bahkan anak setan. Labelisasi itu untuk membangun dominasi dan hegemoni spiritual terhadap siapa pun yang berbeda.

Saat ini di kalangan Kristen orang suka mendengar Christian Prince. Saat mendengar ulasannya dan membaca bukunya, kita akan mendengar semangatnya untuk menjelek-jelekan umat Islam dan agama Islam. Posisi Prince terhadap Islam sangat jelas yaitu oposisi biner. Ini posisi polaristik Kami Vs Mereka.

Prince membuat banyak umat Kristen bangga, tetapi bukan bangga pada nilai kebaikan dan cinta yang menjadi ciri kekristenan. Prince membuat umat Kristen bangga karena dia mengulas kejelekan agama lain, terutama Islam. Ini suatu kebanggaan semu di atas pondasi yang rapuh. Sikap ini sangat bertolak belakang dari nilai cinta kasih Kristen.

Di Islam, posisi oposisi biner yang menganggap yang berbeda sebagai sesat atau kafir dipegang oleh orang-orang seperti sang mualaf baru Yahya Waloni dan Ustad Abdul Somad atau beberapa ustad lainnya. Khotbah mereka sering mengungkit keburukan dan kesesatan umat Kristen.

Sikap yang sama sedang berkembang juga di kalangan Buddha Fundamentalis di Myanmar yang mengorbankan etnik Karen yang Kristen dan etnik Rohingya yang Islam.

Di India, Fundamentalis Hindu yg ditopang partai BJP yang berkuasa membangun mental oposisi dan polaristik terhadap umat lain, sehingga terjadi penindasan terhadap umat Islam dan umat Kristen.

Apa yang disebar oleh orang-orang seperti Prince, Somad, dan Waloni adalah kebanggaan spiritual semu yang sempit di atas pondasi nafsu kebencian, dominasi dan hegemoni spiritual terhadap umat lain.

Sikap oposisi biner yang polaristik ini akan berimbas menjadi konflik dan permusuhan peradaban seperti yang pernah “dikehendaki” oleh Samuel Huntington, sang ideolog konservatif kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat.

Memang, menyampaikan pesan agama dalam kemasan oposisi biner, plus dengan bahasa sangat vulgar super “keras” yang melecehkan serta merendahkan mereka yang berbeda itu paling menarik emosi umat dan para petobat atau mualaf baru. Ia membangkitkan rasa heroisme. Ada kepuasan instingtif reptilian.

Meskipun demikian, pesan agama yang keras ini menimbulkan cost sangat mahal yang harus dibayar bangsa ini. Virus kebencian dan konflik yang terus dipompakan akan menciptakan lingkaran kekerasan abadi yang melenyapkan kita semua. Lingkaran kekerasan abadi ini hanya berhenti saat kita sendiri berinisiatif memutuskan rantai kekerasan itu. Dan kita percaya bahwa kekerasan dan terorisme bukanlah spirit agama mana pun. Kekerasan atas nama agama adalah pseudo religion.

Bagi umat Kristen, kita percaya bahwa hal yang paling utama dan paling prinsip adalah Yesus tidak mengajarkan kita untuk memberitakan Injil dengan cara menjelekkan atau merendahkan umat lain atau agama-agama lain. Cara seperti itu jauh dari prinsip kasih. Cara itu tidak kristiani!

Sikap memandang umat atau agama lain sebagai lawan, musuh, kafir atau sesat adalah warisan kolonialis dan kecenderungan agama suku yang masih kita pelihara. Padahal sikap ini merupakan “bom Nuklir” yang suatu saat akan menghancurkan kita semua, terutama generasi mendatang.

Rasanya sudah saatnya kita, umat Kristen, memiliki sikap seperti Yesus yang bersikap positif, merangkul dan mencintai siapa pun. Bukan merendahkan atau meniadakan umat yang lain. Kalau kita mampu menerapkan nilai cinta kasih Kristen yang dipraktikkan Yesus, kita pasti tegas menolak para demagog agama yang memprovokasi umat dengan tujuan perpecahan bangsa.

Nilai cinta yang merangkul dan menghormati perbedaan dan keragaman mendorong kita mengatakan TIDAK terhadap Yahya Waloni, tetapi juga mengatakan TIDAK terhadap Christian Prince atau demagog Kristen manapun.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home