Loading...
HAM
Penulis: Prasasta Widiadi 10:57 WIB | Jumat, 27 Januari 2017

Keuskuspan Myanmar Minta Suu Kyi Hentikan Kekerasan ke Kristiani

Ilustrasi: Etnis Kachin menggelar demonstrasi di depan Kedutaan Besar Myanmar di Bangkok, Thailand. (Foto: christiantoday.com)

RANGON, SATUHARAPAN.COM – Empat uskup mengadakan pertemuan dengan tokoh politik terkemuka Myanmar atas kekerasan yang terjadi di utara negara itu.

Seperti diberitakan Christian Today, pada hari Kamis (26/1), uskup mengunjungi tokoh demokrasi negara tersebut, Aung San Suu Kyi, untuk membahas konflik berkepanjangan yang mengakibatkan sejumlah kelompok Kristen menderita.

Kelompok etnis di Negara Bagian Kachin dan Shan, yang banyak dihuni orang Kristen, telah lama menentang pemerintah yang resmi, dan sejak lama meminta wilayah otonomi yang lebih besar. Pertempuran yang melibatkan kelompok Kristen telah berlangsung sejak tahun 2011, dan sejak musim panas tahun 2016 militer Myanmar melakukan serangan udara ke wilayah tersebut.  

Di dua negara bagian tersebut penduduk beragama Kristen berjumlah 1,7 juta jiwa, meskipun Myanmar adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha.

Uskup Raymond Gam, kepada sebuah media Belgia, La Croix, yang dikutip kembali Christian Today, mengatakan para uskup Myanmar bertemu dengan Suu Kyi selama satu jam. “Kami menekankan bagaimana pertempuran mengarah ke lebih banyak orang mengungsi, ketidakamanan, dan kesulitan mengeluarkan bantuan kemanusiaan,” kata Uskup Raymond Gam.

Meskipun memenangkan Hadiah Perdamaian Nobel untuk kampanye demokrasi dan telah menjalani hukuman penjara, Suu Kyi dikecam sejak dia dibebaskan karena tidak melakukan tindakan nyata terhadap penindasan terhadap kaum minoritas, terutama orang-orang Rohingya yang digambarkan dunia sebagai orang yang paling dianiaya.

Organisasi yang mengawasi hak-hak asasi manusia, Human Rights Watch, seperti dikutip Christian Today, menjelaskan baru-baru ini terjadi kekerasan terhadap umat Kristen di Myanmar yang menjelaskan bahwa terjadi serangan di dua gereja yang berbeda.

“Selama bertahun-tahun, organisasi masyarakat sipil di Kachin dan Shan mencatat pembunuhan yang melanggar hak-hak asasi manusia, penyiksaan, perkosaan, kerja paksa, dan pelanggaran lain yang dilakukan oleh pasukan militer Myanmar terhadap warga sipil di Shan Utara dan Kachin,” laporan tersebut menyebutkan.

Situs Human Rights Watch beberapa hari lalu menjelaskan bahwa Kepala Eksekutif dari organisasi yang memiliki perhatian kepada hak-hak asasi manusia yang berbasis di Swiss, Fortify Rights, Matthew Smith, mengatakan penghilangan paksa dua aktivis gereja telah menciptakan ketakutan di negara bagian yang terletak di sebelah utara Myanmar tersebut.

“Pemerintah harus segera menyelidiki dan melaporkan kasus ini dan memastikan perlindungan bagi mereka dengan informasi,” kata Smith.

Pada tanggal 24 Desember 2016 pada sekitar 05:30, Langjaw Gam Seng, pemimpin kaum muda dari gereja Kachin Baptist Convention (KBC) yang berpusat di Mong Ko, Myanmar, mengaku menerima telepon dari seseorang yang mengaku sebagai anggota militer Myanmar.

Penelepon meminta Langjaw Gam Seng dan saudara sepupunya yang juga asisten pendeta KBC, Dumdaw Nawng Lat, agar pergi ke pangkalan militer Byuha Gon yang terletak di Kota Mong Ko, di Negara Bagian Shan Utara, yang terletak di dekat perbatasan antara Myanmar-Republik Rakyat Tiongkok, untuk membantu melepaskan warga sipil yang ditahan di sana.

Ada penduduk setempat yang sempat melihat dua laki-laki yang melakukan perjalanan dengan sepeda motor menuju Byuha Gon.  

Pada tanggal 3 Januari, perwakilan dari KBC dan anggota keluarga mengajukan laporan orang hilang di kantor polisi Myo Ma di Distrik Muse.

KBC menyesalkan aparat yang berwenang di Myanmar gagal memberi informasi lengkap tentang keberadaan Langjaw Gam Seng dan Dumdaw Nawng Lat.

Pemerintah Myanmar membantah militer menahan dua orang. Pada tanggal 10 Januari, juru bicara kepresidenan Zaw Htay menyatakan bahwa menurut laporan yang ada, Gam Seng dan Nawng Lat dibawa oleh Independence Army Kachin, bukan militer.

Namun, dia tidak memberikan informasi lebih lanjut untuk membuktikan pernyataannya.

“Hilangnya dua laki-laki tersebut, merupakan pertanyaan besar yang harus dijawab pihak militer,” kata Wakil Direktur Human Rights Watch wilayah Asia, Phil Robertson.

Dia mengatakan kasus ini adalah kasus yang penting bagi Aung San Suu Kyi. (christiantoday.com/hrw.org)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home