Loading...
RELIGI
Penulis: Kris Hidayat 07:52 WIB | Selasa, 07 Januari 2014

Khotbah Ibadah di Seberang Istana: Gereja dan Keadaban Publik

Pendeta Margie Ririhena De Wana sedang memimpin Ibadah di seberang Istana Merdeka, Minggu (5/1). (Foto: Kris Hidayat)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Margie Ririhena De Wana, pendeta yang pernah melayani Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Horeb, Jakarta Timur menyampaikan khotbah tentang kehadiran umat beriman dalam konteks kehidupan publik. Kotbah berjudul “Gereja dan Keadaban Publik” ini disampaikan dalam ibadah kebaktian di seberang Istana Merdeka, Jakarta hari Minggu (5/1) yang digelar rutin dua mingguan oleh GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. 

Berikut adalah kotbah dari Pendeta Margie di hadapan sekitar 100 jemaat GKI Yasmin dan dan HKBP Filadelfia dan para aktivis lintas iman:

Faithful Presence

Seorang bishop di Bangladesh, hidup di tengah penduduk padat dan miskin, mereka juga tengah dilanda  bencana alam, banjir. Bishop dan jemaat Kristen mendapatkan tekanan karena dipandang sebagai kaum minoritas. Bishop itu lalu merenung: bukankah jauh lebih baik pergi meninggalkan Bangladesh dan mencari suaka ke wilayah-wilayah-wilayah lain yang jauh lebih aman dan baik bagi mereka? Sebuah perenungan yang sah dan sangat manusiawi. Sebuah pergulatan batin dan pikiran yang wajar nampaknya.

Tetapi dalam akhir perenungannya yang mendalam tentang kekristenan di sana, ia sampai pada titik simpul bahwa “kesaksian kami jauh lebih baik apabila kami tetap tinggal di sini dengan mereka dan tidak lari dari realitas yang ada". Menjadi Kristen bukan berarti lari dari realitas, menjadi Kristen di Bangladesh berarti mencari dan menemukan ruang untuk menyaksikan iman bagi yang lain seberat apa pun realitas itu.

Bacaan Alkitab di Minggu epifania, Minggu penampakan Sang Juruselamat adalah dari Kitab Yeremia 31 yang merupakan janji Tuhan tentang pemulihan Israel, umat yang terbuang dan tertindas sebagai sebuah realitas yamg tak terbantahkan masa itu. Karena itu janji bahwa Allah akan membebaskan mereka adalah seperti sebuah kalimat singkat “badai pasti akan berlalu”. Kalimat dengan pesan yang kuat dan menyejukkan di tengah badai krisis pembuangan menggambarkan karya Allah bagi dunia yang tak dapat dibatasi oleh keadaan, kekuatan bahkan kekuasaan apa pun.

Misi Allah atas dunia melibatkan berbagai peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Misi Allah juga melibatkan banyak orang. Misi itu terus berlangsung dan tak akan pernah berhenti karena hal-hal yang berbeda dari sangkaan kita tentang bentuknya. Allah pun berkenan memakai “pembuangan dan tekanan/derita umat untuk melanjutkan karya-Nya.

Intervensi/pertolongan Allah atas realitas Israel adalah anugerah-Nya yang terus dinantikan di tengah perih dan pedihnya hidup pembuangan. Ayat 11 menyatakan  “Sebab Tuhan telah membebaskan Yakub, telah menebusnya dari tangan orang yang lebih kuat daripadanya.” 

Pertolongan dan intervensi Tuhanlah yang memungkinkan mereka terbebas, itulah “air sejuk anugerah” di tengah badai hidup Israel. Persoalan berikut adalah pertolongan/intervensi seperti apa yang dimaksudkan dalam Kitab Yeremia 31? 

Pertolongan Tuhan yang memberi ruang pada kebebasan insani, kebebasan umat untuk menjawab realitas konteks pembuangan sebagai bangsa pilihan. Kebebasan yang seyogianya memberi ruang bagi umat untuk menjawab secara tepat dan bertanggung jawab Misi Allah melalui jalan hidup mereka dan itu bukan jalan yang mudah.

Ruang Publik Bersama di Tahun 2014

Hari ini kita sampai di hari ke 5 di tahun 2014, kita masih beribadah di tempat ini, di seberang rumah besar kita Istana Merdeka, gema Yeremia 31 “badai pasti berlalu” yang dikarenakan pertolongan Tuhan/intervensi Tuhan dalam realitas hidup yang kita tempuh, disadari atau tidak, langsung atau tidak turut menyemangati kita untuk tangguh dan tegar dalam menghadapi rangkain krisis, bencana, ketidakadilan yang dialami banyak orang di tanah air kita tercinta Indonesia ini.

Pada 2013 dengan segala suka-duka berhasil kita lampaui berkat pertolongan Tuhan. Tapi, hidup dengan beragam wajah muram dan suram tampaknya masih kita jumpai di 2014 ini, tapi di sini, di ruang ini, di ruang negeri kita, di negara Indonesia kita adalah faithful presence. Tinggallah bersama dengan saudara-saudara kita yang lain.

Paling tidak, ada tiga cara menjawab realitas yang menekan: Pertama, melawannya secara radikal, seperti yang dilakukan oleh para teroris yang tertangkap di Tangerang Selatan beberapa hari lalu. Kedua, tunduk total terhadap kekuasaan, dengan makan dan menikmati remah-remah istana. Atau, merintis dan menempuh jalan ketiga, harga dari iman kita letakkan dengan pilihan-pilihan yang benar, tepat dan beradab. 

GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia merintis dan menempuh jalan ketiga, selama bertahun-tahun, harga dari iman dan spiritualitas kekristenan kita hidupi dengan pilihan-pilihan yang benar, tepat dan beradab. Kita memilih tetap di sini, faithful presence, bersama dengan yang lain, memperjuangkan hidup yang sesungguhnya.

Beberapa hari lalu di media, orang nomor satu di negeri ini sedang mencoba “mengajari” kita tentang bagaimana “menuju demokrasi yang berkeadaban”, demokrasi yang mempertimbangkan dengan sungguh toleransi dan kerukunan dalam hidup bermasyarakat di Indonesia melalui ketaatan pada Undang-undang dan hukum yang berlaku, tetapi ironisnya bertahun-tahun terus melakukan politik pembiaran, ketika sebagian warga negara diperlakukan secara diskriminatif oleh warga negara lain bahkan oleh para penguasa.

Seorang pemimpin yang melakukan politik pencitraan semu, ketika di berbagai daerah di negeri ini, warga negara dan penguasa dapat memperlakukan warga negara yang lain secara diskriminatif. Ketika membaca koran itu saya justru berpikir, jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia-lah yang  sesungguhnya telah berhasil “mengajari” kita dengan sangat baik dan mengajari masyarakat Indonesia, bahkan dunia internasional, bagaimana hidup merespon iman, bagaimana hidup menjadi orang yang beragama dan sekaligus menjadi warga negara yang baik dalam realitas penindasan dan diskriminatif.

Jemaat-jemaat ini bersama para sahabat seperjuangan, telah terlibat dalam misi Allah sepanjang tahun 2013 tanpa lelah dan tanpa gentar, memperjuangkan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan bagi setiap makhluk dengan tetap berjuang dan setia beribadah . Pertolongan Tuhan/Intervensi Allah yang kita baca dalam teks Kitab Yeremia justru bukan untuk “meninabobokan” kita dengan memilih sikap pasif.

Masih teringat dalam ingatan saya, dalam Natal yang kita lewati di tempat ini beberapa waktu lalu.  Ketika kita menerima roti dan anggur sebagai wujud kehadiran Allah dalam ibadah kita, kita menerimanya dalam kondisi hujan lebat, yang membasahi kita semua di tempat ini.

Intervensi Tuhan tidak sedang menghentikan keterlibatan kita sebagai umat beragama/ gereja/orang kristen dalam misi Allah bagi dunia, bagi Indonesia melalui membangun dengan sungguh-sungguh demokrasi yang beradab di rumah ini, di rumah kita Indonesia dengan tetap tunduk dan berpegang pada konstitusi,  UUD 45 dan Pancasila serta setia memperjuangkannya dengan pilihan-pilihan yang beradab pula.

Merintis dan menempuh jalan dan ruang ketiga adalah pilihan iman yang saudara dan saya telah tempuh selama tahun 2013 yang lalu dan akan terus kita jalani bersama. Pilihan yang yang nampaknya terlihat “lemah”, yang terlihat “tak berdampak” dan “kecil”, tapi sesungguhnya sebuah pilihan yang mencampurkan intervensi Tuhan/pertolonganTuhan yang merupakan wujud kedaulatanNya atas hidup dengan ikhtiar demi ikhtiar umat beragama (juga kekristenan) di Indonesia untuk sedia “belajar” bersama, sekaligus  “mengajar” para penguasa dan masyarakat Indonesia bagaimana tetap memilih jalan ke 3 atau membangun ruang ketiga, jalan dan ruang damai yang kritis dan demokratis yang berkeadaban di sepanjang tahun 2014.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home