Loading...
DUNIA
Penulis: Saut Martua Amperamen 18:24 WIB | Senin, 08 Januari 2018

Kian Dekat dengan Israel, Bahrain Utus Ulama ke Yerusalem

Sejumlah ulama lintas agama dari Bahrain yang tergabung dalam This Is Bahrain, saat berkunjung ke Yerusalem pada Desember 2017 (Foto: Times of Israel)

MANAMA, SATUHARAPAN.COM - Sama seperti sejumlah negara Arab serta negara-negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya, Bahrain tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, negara ini baru-baru ini mengizinkan sejumlah ulama berbagai agama dari negaranya mengunjungi Israel. 

Para ulama tersebut memproleh izin dari Raja Bahrain, Hamad bin Isa Al Khalifa, dan mereka mendapat tugas untuk menyampaikan salam perdamaian kepada Israel.
 
"Pesan kami adalah koeksistensi damai tanpa keterlibatan pemerintah," kata Betsy Mathieson, presiden organisasi nonpemerintah yang berbasis di Bahrain "This is Bahrain," yang memimpin delegasi tersebut.

Ada 24 peserta dalam kunjungan kali ini, terdiri dari ulama Muslim Sunni dan Syi'ah, serta Buddha, Kristen, Hindu dan Sikh. Mereka menjadi tamu dari Simon Wiesenthal Center, sebuah kelompok hak asasi manusia Yahudi yang berbasis di AS. Sepanjang yang diketahui secara umum, inilah delegasi pertama kali mengunjungi Israel dari Bahrain. Dan banyak yang melihat perjalanan tersebut sebagai pertanda potensi hubungan yang hangat antara kedua negara.

Diundang oleh Lembaga Yahudi

Dalam sebuah wawancara eksklusif Times of Israel dengan anggota delegasi Bahrain di Yerusalem, Mathieson mengatakan bahwa LSMnya yang berusia tujuh tahun "merayakan kebebasan beragama dan berdampingan secara damai dengan membagikan cara hidup sederhana Bahraini  berabad-abad, di mana orang-orang dari semua iman hidup bersama dalam semangat saling menghormati dan kasih."

Lahir dalam keluarga religius Kristen di Skotlandia, Mathieson tiba di Bahrain pada tahun 1980 untuk bekerja dan telah tinggal di sana sejak saat itu. "Kami bekerja untuk meraih orang-orang yang beriman," katanya.

Mathieson mengatakan bahwa delegasi tersebut datang ke Israel berkat sebuah undangan yang dikeluarkan oleh Rabbi Marvin Hier dan Rabbi Abraham Cooper dari Simon Wiesenthal Center di Los Angeles dalam sebuah pertemuan dengan Raja Hamad bin Isa al-Khalifa di Bahrain tahun lalu.

"Warga Bahrain bisa pergi kemanapun mereka mau di seluruh dunia; Tidak ada batasan pada warga Bahrain, "kata Raja Bahrain kepada Hier, menurut Mathieson, ketika ditanya apakah delegasi tersebut dapat mengunjungi Israel.

"Itulah alasan kita berada di sini hari ini," kata Mathieson, bulan Desember lalu.

Raja Al Khalifa yang Bersahabat

Al-Khalifa telah meluncurkan kampanye global untuk toleransi dan koeksistensi agama dengan sejumlah inisiatif luas yang bertujuan untuk mencegah ekstremisme agama. Dalam publikasi 2017 yang kemudian dikenal sebagai "Deklarasi Kerajaan Bahrain," dia secara terbuka berjanji untuk mengatasi terorisme, ekstremisme, kekerasan, intoleransi dan kebencian dan mendesak orang-orang dari semua agama "untuk menolak tindakan ini dan berjanji untuk menggantinya dengan saling menghormati, pengertian dan cinta."

"Bahasanya adalah bahasa yang populer dan bisa dibaca dan dirayakan oleh jutaan orang dan bukan ribuan," kata Pendeta Johnnie Moore, anggota delegasi yang membantu merancang deklarasi tersebut.

Moore mengatakan bahwa "dokumen mendalam" itu menyerukan kepada setiap orang untuk berperan aktif dalam membangun dunia global di mana kepercayaan pada Tuhan adalah berkat bagi semua umat manusia dan fundasi untuk perdamaian. "Ketika kami bekerja sama [dalam dokumen ini], saya tidak berharap bisa membahasnya sampai sejauh ini dengan bahasa seperti ini," katanya.

Moore mengatakan bahwa ia beberapa tahun terakhir telah melihat beberapa upaya serupa untuk mendorong dialog antaragama, seperti Deklarasi Marrakesh dan Pesan Amman, namun pernyataan Bahrain berbeda karena tidak ditulis oleh intelektual sembarangan namun oleh seorang raja Arab Muslim.

Al-Khalifa meminta masukan dari Moore dan Hier dalam menyusun deklarasi tersebut "karena percaya bahwa ketiga agama Abrahamik harus dimintai saran atas dokumen ini," Mathieson mengatakan.

Membangun Katedral di Bahrain

Di luar deklarasi tersebut, raja juga telah mendirikan sebuah pusat akademik di Universitas Sapienza di Roma yang diberi nama "The King Hamad Center for Interfaith Dialogue and Peaceful Coexistence," yang akan diluncurkan pada awal tahun 2018.

Delegasi tersebut menjelaskan bahwa inisiatif tersebut bertujuan untuk menekankan keyakinan raja bahwa kebebasan beragama adalah fondasi untuk koeksistensi damai, dengan dialog antar agama sebagai intinya, dan, akibatnya, pentingnya pendidikan dan untuk melibatkan generasi muda di seluruh dunia.

Kampanye raja tersebut juga mencakup pendirian sebuah lembaga baru di ibu kota Bahrain yang akan diluncurkan pada tahun 2018, yaitu The King Hamad Global Center for Peaceful Coexistence. Lembaga ini direncanakan sebagai tempat menyelenggarakan konferensi, acara, dan dialog yang mempromosikan tujuan di atas,  dan akan mencakup sebuah museum untuk menampilkan warisan kebebasan beragama dan koeksistensi di negara tersebut. 

Mathieson, yang juga menjabat sebagai sekretaris jenderal Federasi Asosiasi Ekspatriat Bahrain (BFEA), menjelaskan bahwa selama ratusan tahun, orang-orang Bahrain telah menerima pemeluk  agama lain seperti agama Kristen, Yahudi, Budha, Sikhisme dan sekte Islam yang berbeda, untuk hidup bersama  dalam cinta dan harmoni. Itulah pesan yang ditekankan oleh Mathieson dan beberapa anggota delegasi lainnya ke seluruh dunia, di London, Berlin, Brussels, Paris, Washington, New York, Roma, Los Angeles, dan yang terakhir adalah Yerusalem.

Bahrain sekarang terlibat dalam pembangunan Katedral Our Lady of Arabia, yang disebut-sebut sebagai gereja terbesar yang pernah dibangun di Semenanjung Arab, yang akan ditempatkan di samping sebuah masjid baru, yang melambangkan kebebasan beragama di wilayah tersebut.

"Raja mengirim kami untuk membawa pesan damai ke seluruh dunia," seorang ulama Syiah dalam delegasi tersebut mengatakan kepada Hadashot saat berada di Israel. Ulama tersebut mengatakan bahwa orang Syiah, yang merupakan mayoritas di negara yang dikuasai Sunni, tidak memiliki niat buruk terhadap anggota agama lain. "Kaum Syiah di Bahrain dan di luar Bahrain tidak merasa benci, mereka tidak membawa pesan kebencian atau kebencian terhadap aliran agama atau agama apapun," katanya.

Berbeda dengan Negara Arab Lainnya

Pada tahun 2011, Bahrain menghadapi demonstrasi dari komunitas Syiah setelah pecahnya Musim Semi Arab di seluruh wilayah. Dengan bantuan Arab Saudi, yang mengirim tentara melintasi batas yang memisahkan kedua negara, Bahrain menghentikan demonstrasi tersebut, yang menuding bahwa aksi itu dibantu oleh Iran yang mayoritas Syiah.

Bahrain dianggap memiliki sikap yang berbeda dibanding negara-negara Arab lainnya terhadap Israel. Negara ini dianggap lebih bersahabat. Tahun 2008 sampai 2013, negara ini memilih seorang diplomatnya yang berdarah Yahudi menjadi dubes untuk AS. Itulah untuk pertama kalinya seorang Yahudi mewakili negara Arab. 

Sejak 2015, raja Bahrain menyelenggarakan perayaan Hanukkah di istananya dengan dihadiri umat Islam dan Yahudi. Bulan Mei lalu, kesebelasan Israel diundang pada kongres FIFA yang diselenggarakan di Bahrain.

September lalu, Breitbart.com memberitakan bahwa kemungkinan kedua negara akan menormalisasi hubungan pada tahun ini, mengutip sejumlah sumber resmi di Bahrain dan Barat. Meskipun demikian normalisasi hubungan itu bukan dalam bentuk pembukaan kedutaan besar di masing-masing negara, melainkan diberikannya izin kunjungan pejabat resmi dalam urusan ekonomi dan perdagangan.

Seperti Israel, Bahrain memiliki kerusakan hubungan yang serius dengan Iran. Sebuah laporan bulan September 2017 di situs Middle East Eye mengutip seorang pejabat Bahrain yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa upaya menormalisasi hubungan antara Yerusalem dan Manama dapat membantu melawan Iran.

Laporan tersebut muncul beberapa hari setelah pertemuan Hier dengan raja Bahrain, dan mengatakan kepada The Times of Israel bahwa raja telah mengatakan akan melawan upaya boikot oleh negara-negara Arab terhadap Israel dan bermaksud mengizinkan warga negara dari kerajaannya untuk mengunjungi negara Yahudi tersebut dengan bebas.

Bahrain, sebuah negara yang terdiri dari sekelompok pulau di Teluk Persia dengan populasi 1,4 juta, tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan Negara Israel. Namun, turis-turis dan pengusaha Israel diketahui mengunjungi negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2009, putra mahkota Bahrain Sheikh Salman bin Hamad al-Khalifa menulis sebuah artikel di Washington Post yang mendesak negara-negara Arab untuk berkomunikasi lebih banyak dengan Israel demi proses perdamaian. 

Pada tahun 2016, ketika mantan presiden Shimon Peres meninggal, Bahrain adalah satu-satunya negara Teluk Persia yang secara terbuka mengucapkan turut berdukacita atas kepergiannya.

Dikritik

Di tengah berbagai indikasi positif ini, tak bisa dihindarkan bahwa kunjungan delegasi baru-baru ini tetap mendatangkan kritik dari sejumlah kalangan di dalam negeri Bahrain. Ini terutama dipicu oleh provokasi media Iran yang berafiliasi dengan kalangan garis keras, yang membuat laporan lengkap tentang kunjungan ini dan menyuarakan kritik.

Kantor berita Tasnim mengutip Gerakan Jihad Islam Palestina yang mengatakan bahwa perjalanan tersebut "Melangkahi nilai-nilai Islam dan Arab." Press TV, melaporkan bahwa "Masyarakat Islam Nasional Al-Wefaq, partai oposisi utama Bahrain, "dengan keras mengutuk upaya Manama untuk menormalkan hubungan dengan Israel."

Saluran semi-resmi tersebut menggambarkan kunjungan delegasi  Bahrain ke Israel sebagai "konsekuensi" dari kebijakan pemerintahan Donald Trump, termasuk pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, yang diumumkan tiga hari sebelum kunjungan delegasi tersebut.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home