Kiat Menangkan Persaingan: Tetap Setia dengan Pembeda
SATUHARAPAN.COM - Tidak banyak yang tahu bahwa iklan Marlboro dengan tema koboi dan kuda diciptakan pakar iklan Leo Burnett (1891-1971) . Karyanya tetap awet 45 tahun kemudian hingga tahun 2000-an.
Philip Morris, produsen rokok, dalam perjalanan waktu memang mengalami masalah yang disebut “lebih itu kurang” (more is less) ketika melakukan ekstensi merek Marlboro.
Misalnya, untuk mendorong perkembangan produk, perusahaan memperkenalkan Marlboro Lights dalam kerangka komunikas Marlboro Country. Mereka kemudian memperkenalkan Marlboro Mediums, lalu Marlboro Menthol dan bahkan Marlboro Ultra-Lights.
Apa yang terjadi? Tiba-tiba saja untuk pertama kalinya ingatan pelanggan tentang perbedaan merek Marlboro dengan merek lain menurun tajam.
Mengapa? Dalam benak pelanggan, seorang koboi sejati bukanlah perokok menthol dan ultralights. Komunikasi yang baru rupanya membuat rancu sasaran dan segmen pasar rokok itu.
Untunglah Philip Morris tak terjerumus ke dalam blunder. Mereka segera kembali ke tema asli Marlboro Country yang berciri warna merah dan putih .
Kesan perubahan menjadi rokok menthol dan mediun pun segera ditepis. Perusahaan seolah berkata, rokok yang ditemui pelanggan sekarang, apa pun jenis dan cita rasanya, tetaplah yang mereka kenal dulu.
Semakin atribut produk ditambahkan, semakin bertambah pula risiko untuk mengaburkan diferensiasi yang telah terbentuk. Dalam kasus Marlboro, perusahaan sudah membedakan produknya sebagai bercita rasa penuh, bagaimana mungkin untuk menampung lagi tambahan cita rasa baru atau “meringankan” cita rasa yang sudah ada?
Blunder yang lebih buruk menurut pakar pemasaran Jack Trout dalam bukunya “Differentiate or Die” dilakukan produsen bir Michelob. Perusahan itu dikenal sebagai produsen bir bercita rasa penuh dengan harga mahal.
Sampai kemudian perusahaann tergoda melakukan ekstensi merek dengan mengeluarkan Michelob Light dan Michelob Dry. Hasilnya? Penjualan langsung merosot tajam.
Heineken, produsen bir sejenis agaknya memetik pelajaran dari kasus Michelob. Produk barunya yang lebih “ringan” diberi nama Amstel Light dengan kalimat diferensiasi yang cantik, yakni “95 persen kalori tiada berasa begitu penting.”
Dulu, baterai Eveready memiliki strategi menawarkan baterai apa saja yang dibutuhkan konsumen. Kemudian muncul baterai Duracell.
Perusahaan itu “mengorbankan diri” tidak memasuki kategori batu baterai yang begitu beragam dan memfokuskan pada baterai alkalin.
Duracell memetik buah pengorbanannya. Produknya dikenal sebagai baterai alkalin tahan lama sekaligus menjadi pembeda yang kuat.
Tetap Setia
Banyak perusahaan yang ingin tumbuh dengan cepat, tiba-tiba menjadi tamak, dengan menambah beragam jenis dan cita rasa produk dalam satu payung merek yang sama. Akibatnya pembeda yang ada menjadi amburadul karena dirusak tambahan-tambahan atribut produk baru.
Contohnya, dulu merek Cosmos di Indonesia dikenal sebagai alat penyimpan beras andal. Slogannya pun berbunyi, “Ingat Beras, Ingat Cosmos”. Apa yang terjadi kemudian?
Merek Cosmos kini sudah merambah ke mana-mana, mulai dari rice-cooker, kipas angin, oven listrik, dan lain-lain. Andai saja mau menahan diri memperluas merek hanya kepada penanak nasi listrik, mungkin slogan lamanya masih dipakai orang sampai kini.
Sekarang? Tak ada yang tahu, apa perbedaan Cosmos dengan merek-merek seperti National dan Sanken.
Sebaiknya setiap perusahaan tetap setia dengan pembeda (diferensiasi) yang telah ditetapkan. Misalnya, Dove sebagai sabun tanpa alkalin, Lux sebagai sabun kecantikan, Lifebuoy sebagai sabun kesehatan dan antikuman, KFC sebagai restoran dengan sajuan utama ayam, SouthWest Airlines sebagai maskapai penerbangan AS jarak pendek, atau Duracell sebagai batu baterai alkalin.
Kejadian yang dialami McDonald’s mungkin bisa dijadikan pelajaran. Beberapa kali restoran itu bereksperimen dengan sajian baru.
Misalnya, meluncurkan sajian McPizza. Siapa pun tahu, kalau ingin mencari pizza yang enak, orang tak akan pergi ke restoran hamburger melainkan ke gerai khusus pizza.
Toh, restoran hamburger ini masih mencoba-coba dengan sajian lain seperti McDeluxe, McSpaghetti, McNasi Telor, Bubur Ayam dan sebagainya. Hampir semuanya tak ada yang menuai sukses berarti.
Mengalami berbagai kegagalan seperti itu, McDonald’s untuk pertama kalinya melakukan investasi di bisnis restoran lain dengan nama berbeda. Namanya, Chipote Mexican Grill, sebagai jaringan restoran mini yang menawarkan campuran daging, nasi serta kacang-kacangan isi burrito (nama masakan Meksiko) dengan harga rata-rata hanya 5 dolar AS.
Menurut buku “45 Kisah Bisnis Top Pilihan”, kasus di atas membuktikan bahwa sebesar apa pun bisnis sebuah perusahaan, tak bakal mampu melayani selera semua orang. Oleh karena itu, fokus pada bisnis tertentu dengan pembeda yang dengan jelas dipahami konsumen diperlukan sekali. Bila tidak, umur merek kita di pasar tak bakal panjang.
Editor : Eben E. Siadari
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...