Loading...
OPINI
Penulis: Victor Silaen 00:00 WIB | Kamis, 05 Juni 2014

Koalisi, Kekuasaan, dan Konflik

SATUHARAPAN.COM - Dalam politik tak ada satu pun hal yang ideal. Semuanya serba praktis, karena nilai utamanya memang pragmatisme. Jadi bukan kebaikan dan kebajikan yang menjadi keutamaan dalam politik, melainkan manfaat. Manfaat itu sendiri terutama dicari dan dikejar untuk diri sendiri, baru kemudian untuk kelompok sendiri, dan akhirnya untuk satuan sosial yang lebih luas lagi seperti rakyat.

Begitulah, maka sudah sejak lama filsuf politik Inggris di abad ke-19, Lord Palmerston, berkata begini: “Tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, karena sesungguhnya yang abadi adalah kepentingan itu sendiri.” Pikiran itu benar, bahkan bernilai kekal, sehingga menjadi salah satu adagium dalam literatur politik dewasa ini. Boleh jadi hari ini menjadi kawan senasib-sepenanggungan, sebarisan-seperjuangan. Tapi kali lain bisa jadi beroposisi, menjadi lawan yang berpunggungan. Bahkan kalau perlu bisa saling menjegal, menumbangkan dan menghancurkan.

Gambaran seperti itulah yang lazim terlihat di pelbagai ajang kontestasi politik rebutan posisi semisal Pemilukada dan Pilpres. Tahun 2012, dalam Pilgub DKI, saat menjelang Putaran I semua pasangan cagub-cawagub hampir selalu “menyerang” Foke-Nara dalam kampanye-kanmpanye mereka. Masuk ke Putaran II, setelah kontestannya tinggal Foke-Nara dan Jokowi-Ahok, semua pasangan calon lainnya (kecuali pasangan independen Faisal-Biem dan Adji-Riza) malah berbalik 180 derajat mendukung Foke-Nara.

Itulah politik, yang sangat memesona karena menawarkan kekuasaan. Kekuasaan membuat pelbagai kepentingan menjadi mudah untuk diraih atau diwujudkan. Itulah logika yang menjelaskan kebenaran adagium Lord Palmerston. Itulah juga logika yang menjelaskan mengapa mahkluk manusia disebut sebagai political animal (Aristoteles) atau zoon politicon (Plato). Setiap orang cenderung rakus kekuasaan. Jika kekuasaan itu sudah didapatkan, orang itu ingin mempertahankan dan bahkan memperbesarnya.

Karena sifat seperti itulah maka pemikir politik pragmatisme terkemuka Niccolo Machiavelli (1469-1527) pernah mengatakan bahwa politik tak perlu dikait-kaitkan dengan moralitas dan kebajikan. Demi mempertahankan kekuasaan, kalau perlu penguasa sering melanggar hukum moral. Jadi, para penguasa harus cerdik dan cakap mempergunakan kekuasaannya.

Bagi Machiavelli, politik menjadi semacam seni untuk mengelola pelbagai kemungkinan (the art of possibilities). Tak heran jika atas dasar itu pula maka praktik politik menjadi sarat intrik dan kerap transaksional. Tapi, menurut Machiavelli, hal itu harus dipandang sebagai kewajaran, sebab politik merupakan alat untuk mengelola kehidupan bersama di dunia; dan dunia ini terdiri dari manusia-manusia, bukan para dewa, dengan nafsu-nafsu yang mustahil dipuaskan dan kemampuan berbuat jahat yang tak terbatas. Karena itulah jika penguasa ingin berhasil, sebagian dari dirinya harus berperangai singa (yang kuat), sebagian lagi harus bersifat kancil (yang cerdik).

Fenomena politik penuh intrik dan transaksional itu hari-hari ini juga kita saksikan menjelang Pilpres 9 Juli 2014. Setelah hasil hitung cepat suara Pileg 9 April lalu makin diyakini arahnya, bahwa yang akan maju sebagai capres adalah Jokowi dan Prabowo, maka kedua bakal capres itu pun sibuk menggalang kemungkinan koalisi. Minggu demi minggu berlalu, akhirnya dipastikan bahwa PDIP berkoalisi dengan NasDem dan PKB, disusul kemudian dengan Hanura. 

Bagaimana dengan Golkar, yang ketua umumnya, Aburizal Bakrie (ARB), pernah tampil bersama dengan Prabowo di kediamannya di bilangan Sentul, Jawa Barat? ARB sendiri, dilihat dari perolehan suara partainya yang lebih besar dari Gerindra yang mengusung capres Prabowo, logisnya diposisikan sebagai capres sementara Prabowo sebagai cawapres. Tapi, mungkin sadar akan elektabilitasnya yang rendah, ARB dikabarkan saat itu mengalah dan bersedia menjadi cawapres Prabowo.

Tapi, berita politik mendadak berubah beberapa hari sesudahnya saat ARB tampil bersama Jokowi di Pasar Gembrong, Jakarta, di hadapan wong cilik. Saat itu dalam orasi singkatnya, ARB menyebut-nyebut nama Jokowi sebagai capres. Kalau begitu, ARB akan diposisikan sebagai apa? Tak ada pemberitaan resmi, kecuali dugaan bahwa ARB dan partainya bersedia masuk ke barisan koalisi pendukung capres Jokowi tanpa syarat. Sebab kalau ARB minta jatah kursi cawapres, itu pun niscaya menghadapi hambatan karena melanggar amanat Rapimnas Golkar sebelumnya yang telah resmi menunjuk ARB maju sebagai capres dari Golkar.

Tapi lagi-lagi kita terheran-heran, mengapa akhirnya ARB dan Golkar resmi diberitakan masuk ke gerbong koalisi capres Prabowo? Di gerbong itu, selain ada Hatta Rajasa sebagai cawapres bagi Prabowo dan tentunya juga PAN (partai yang diketuai oleh Hatta), akhirnya juga menyusul PPP, PKS, dan PBB. Padahal, sebelum resmi bergabung, PPP terbelah antara mendukung Prabowo dan Jokowi. PKS juga sempat meragukan Prabowo karena masa silamnya yang dibayang-bayangi dugaan kuat pelanggaran HAM berat. PKS sendiri sebelumnya memperlihatkan keinginan untuk berkoalisi dengan PDIP. Hanya saja, karena PDIP tak membuka pintu, akhirnya PKS memilih Gerindra. Tapi sebelum memastikan sikapnya mendukung Prabowo, PKS sempat mengangkat wacana mereka ingin mengajukan beberapa kadernya sebagai cawapres bagi Prabowo. Namun, karena tampaknya Prabowo lebih condong ke Hatta, maka PKS pun membulatkan hatinya tetap di barisan koalisi capres Prabowo itu.

Pasca-pendaftaran pasangan capres-cawapres Jokowi-Jusuf Kalla (Jkw-JK) dan Prabowo-Hatta Rajasa (Prahara) ke KPU, mendadak peta kekuatan politik pun berubah secara cepat. Ternyata, dukungan partai kepada capres-cawapres tak selalu berbanding lurus dengan dukungan kader-kader partai yang bersangkutan. Sebagian kader senior Golkar semisal Luhut Panjaitan dan Fahmi Idris dengan terang-terangan menyatakan mendukung Jokowi. Begitupun sejumlah kader muda di Golkar seperti Indra J. Piliang, Poempida Hidayatulloh, dan Meutya Hafid. Tapi, menurut Indra Piliang, ia mendukung Jkw-JK karena di sana ada JK yang mantan Ketua Umum Golkar. Sebaliknya ia tak mau mendukung Prabowo yang didukung Golkar, karena ARB sebagai Ketua Umum Golkar dinilai sudah mengingkari amanat Rapimnas Golkar sebelumnya. Apalagi aroma politik transaksional begitu kuatnya tercium di barisan koalisi capres Prabowo itu. Tak main-main, kader-kader muda Golkar itu pun akhirnya membentuk Forum Paradigma Gerakan Muda Indonesia (FPGMI).  

Dari barisan muda Golkar juga menyusul Nusron Wahid yang memilih mendukung Jkw-JK, dengan dalih dirinya membawa nama Nahdlatul Ulama (NU) dan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor. “Pak JK kan tokoh NU dan menjabat sebagai Dewan Mustasyar NU,” ujarnya. Nusron mengaku siap dipecat jika itu menjadi konsekuensi dari sikap politiknya.

Sementara di PAN setidaknya ada mantan ketua umum Sutrisno Bachir dan kader muda Wanda Hamidah yang memilih tidak mendukung Prahara (meski Ketua Umum PAN menjadi wapres bagi Prabowo), melainkan Jkw-JK. Dari Hanura, meski Ketua Umum Wiranto resmi menyatakan dukungan partainya kepada Jkw-JK, ternyata ketua dewan pembina partai itu sendiri, Hary Tanoe, memilih berlabuh di koalisi capres Prabowo. 

Ada lagi contoh lain dari perubahan koalisi dukung-mendukung pasangan capres-cawapres yang serbacepat ini. Sebutlah Mahfud MD, yang sebelumnya berharap dicawapreskan oleh Jokowi, tapi kemudian menjadi Ketua Tim Sukses Capres Prabowo. Sangat disayangkan perubahan sikap politiknya yang begitu kontras itu, sebab selain seorang gurubesar ia juga telah banyak menikmati jabatan di lembaga-lembaga negara semisal anggota DPR, Menteri Pertahanan, dan Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia kini juga tercatat sebagai anggota penasehat Komnas HAM, yang atas dasar itu dirinya menjadi sorotan banyak pihak karena justru mendukung Prabowo sebagai capres.

Begitulah politik yang kalkulatif. Menurut pemikir politik Harold Lasswell, politik adalah “siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”. Maka, dipadukan dengan adagium Palmerston, fenomena koalisi politik jelang Pilpres 2014 ini membuat kita tak perlu heran. Sebab dalam politik yang penting mendapatkan kekuasaan, dan karena itu kompromi adalah hal yang niscaya sebagaimana berkoalisi ke kubu sana atau sini. Tapi, potensi konflik di sana-sini kini mengancam di depan mata.

 

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.
 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home