Loading...
EKONOMI
Penulis: Ignatius Dwiana 07:20 WIB | Selasa, 11 Februari 2014

Koalisi Masyarakat Sipil Meminta Penundaan Pengesahan RUU Perdagangan

(Ilustrasi: bsi-cyb3r.blogspot.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pembahasan substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang telah selesai dan rencananya disahkan pada 11 Februari 2014 atau dalam waktu dekat ditolak koalisi masyarakat sipil. Hal ini disampaikan dalam siaran pers pada Senin (10/2).

Sebelumnya Pemerintah dan DPR RI mensahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian pada 19 Desember 2013. Undang-Undang Perindustrian ini menurut koalisi merupakan kepanjangan tangan neoliberalisme. Karena Undang-Undang ini menghapus substansi pasal 33 UUD 45 yang masih dianut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984.

Baik persoalan perindustrian dan perdagangan merupakan salah satu pokok pembangunan ekonomi Indonesia sehingga perhatian ke RUU Perdagangan menjadi penting. Hal ini dibutuhkan dalam rangka melindungi kepentingan nasional dan memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Walau RUU Perdagangan meskipun mengalami banyak perubahan dibanding dengan draft awal tahun 2011. Tetapi tendensi RUU Perdagangan sebenarnya masih menganut paham liberalisme dan mengabdi pada mekanisme pasar. Ini terlihat dari ketentuan mengenai asas kesamaan perlakuan (equal treatment) yang memberikan kesetaraan kesempatan dan kedudukan dalam kegiatan usaha pada setiap pelaku usaha, baik nasional maupun asing. Hal ini akan berakibat tertutupnya ruang bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada pelaku usaha nasional, terutama pelaku usaha kecil dan menengah, yang notabene masih membutuhkan dukungan agar dapat bersaing.

Pasal 27 dalam RUU Perdagangan ini perlu mempertimbangkan peran Pemerintah untuk menghapus kata atau frasa ‘dapat’ atau diganti menjadi kata ‘wajib’. Karena peran Pemerintah penting dalam pengendalian barang kebutuhan pokok dan barang. Pemerintah juga perlu memperhatikan persoalan standarisasi barang dan jasa yang dikhawatirkan akan merugikan posisi kepentingan nasional Indonesia.

Pada bagian tentang kerjasama perdagangan international sebagaimana diatur dalam pasal 83, 84 dan 85 meskipun cukup baik namun perlu dikhawatirkan. Karena pasal itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat, mengingat pengesahan atas revisi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian International belum dilakukan.

Sementara pasal 118 huruf b yang menyatakan pencabutan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1962 tentang Pengawasan Perdagangan Barang dan mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah (PP). Ketentuan ini menurut koalisi akan sangat merugikan para pelaku usaha dalam negeri yang memproduksi barang-barang dalam pengawasan, seperti  petani tebu dan produsen gula lokal. Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Indonesia Berdikari (IB), Resistance and Alternatives to Globalisation (RAG), Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyebutkan ketentuan itu menyebabkan ketidakpastian karena menyerahkan sepenuhnya pengaturan barang-barang yang menyangkut kehidupan umum ke tangan pemerintah atau eksekutif semata. (PR)

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home