Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 05:41 WIB | Jumat, 04 Juli 2014

Koalisi Seni: RUU Kebudayaan Tidak Diperlukan

Ketua Pengurus KSI, M Abduh Aziz. (Foto: Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koalisi Seni Indonesia (KSI) menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan yang sedang digodok Komisi X DPR RI merupakan sesuatu yang tidak diperlukan di negeri ini.

“Ada bahaya ketika kami memahami betul apa isinya (RUU Kebudayaan). Pertama, kami melihat bagaimana paradigma dasar pembentukan Undang-Undang. Kami melihat konsiderans awal Undang-Undang ini sama dengan yang sudah dilakukan masa-masa sebelumnya, kebudayaan hanya dilihat dalam kacamata ketahanan nasional. Paradigmanya adalah ketakutan.

"Di situ dlihat dan dijelaskan ketakutan akan globalisasi, pengakuan kebudayaan kita rentan, kebudayaan kita perlu diproteksi dan segala macam. Kalau berangkatnya dari sini pada akhirnya ini akan mempengaruhi pada batang tubuh isi Undang-Undang ini secara keseluruhan,” kata Ketua Pengurus KSI, M Abduh Aziz,  ketika mengomentari konsiderans RUU Kebudayaan dalam diskusi publik bertema ‘RUU Kebudayaan: Menjamin atau Menyandera’ di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada Kamis (3/7).

M Abduh Aziz menilai konsiderans RUU Kebudayaan poin c menunjukkan sesat pikir itu. Konsiderans RUU Kebudayaan poin c itu berbunyi,“Bahwa nilai budaya dan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia sangat rentan terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan nilai budaya dalam masyarakat.”

Selain sesat pikir, konsiderans ini juga bentuk pengingkaran sejarah perkembangan kebudayaan yang tetap survive hingga hari ini serta menunjukkan spirit menutup diri dari interaksi pergaulan kebudayaan tingkat global.

M Abduh Aziz menuturkan RUU ini bila dibaca pasal per pasal maka akan menampakkan pengelolaan, perencanaan, dan pengendalian kebudayaan yang dilakukan Pemerintah. Sementara posisi masyarakat tidak ada.

Produser film kondang ini berpandangan keberadaan Komisi Perlindungan Kebudayaan yang digagas dalam Pasal 75 RUU Kebudayaan merupakan sesuatu yang salah.

“Ini lembaga sensor kebudayaan atau apa? Daripada berputar-putar pada soal itu, kami melihat bahwa sekarang inisiatif warga ada di mana-mana. Ada Ruang Rupa, Forum Lenteng, Salihara, Dewan Kesenian, dan di daerah-daerah ada lebih banyak lagi. Dipetakan dulu kebutuhannya apa? Kebutuhan mereka sederhana, ada support yang reasonable. Itu yang tidak pernah dipenuhi negara,“ ujarnya.

“Ada bantuan pengembangan infrastrukturnya. Kita lihat berapa jumlah sekolah tinggi seni budaya di Indonesia? Sekolah film saja hanya ada satu di Indonesia. Mengapa tidak soal-soal semacam itu yang diatur?”

Dia menilai yang lebih mengemuka dalam RUU Kebudayaan ini justru persoalan nilai, adab, kesantunan, persatuan, dan sejenisnya yang dapat menimbulkan perdebatan akibat dominasi tafsir hukum dan perundang-undangan.

Direktur Program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006-2009 ini menilai intervensi Pemerintah melalui RUU Kebudayaan tidak menunjukkan hasil kerja yang konkrit. Hal yang justru lebih konkrit dikerjakan Pemerintah di bidang kebudayaan ketika dibuat Undang-Undang Penyiaran untuk membendung pengaruh buruk televisi atau penguatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dia juga mencontohkan pula intervensi Pemerintah di bidang kebudayaan melalui pers dan film juga lebih konkrit dibandingkan RUU Kebudayaan.

Ketua Pengurus KSI juga menyampaikan bahwa lembaga yang dipimpinnya dalam dua tahun terakhir sangat memahami benar dampak dan pengaruh kebijakan dan peraturan terhadap pengembangan seni dan kebudayaan.

M Abduh Aziz berpandangan RUU Kebudayaan yang digodok Komisi X DPR RI tidak ada tolak ukurnya. Karena mengundang-undangkan kebudayaan  berarti “hasil pemikiran, olah rasa, gagasan, ekspresi, dan keseluruhan aspek hidup orang hendak diatur sepenuhnya.”

Diskusi publik bertema ‘RUU Kebudayaan: Menjamin atau Menyandera’ merupakan kerjasama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, dan Koalisi Seni Indonesia (KSI).

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home