Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 16:31 WIB | Senin, 16 Mei 2016

KontraS Kecewa Putusan Sidang Etik Anggota Densus 88

Staf Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS Satrio Wirataru di kantor KontraS Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, hari Senin (16/5). (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kecewa atas hasil putusan Sidang Etik terhadap anggota Detasemen Khusus 88 (Densus) Polri terkait meninggalnya seorang warga Klaten Siyono pada 10 Maret lalu.

“Dari informasi kami yang miliki pada hari Selasa 10 Mei, Majelis Etik Mabes Polri telah membacakan putusan Sidang Etik terhadap dua anggota Densus 88 yaitu AKBP T dan Ipda H dengan vonis kewajiban untuk meminta maaf kepada atasanya maupun institusi Polri. Mereka juga mendapatkan sanksi demosi, dan tidak direkomendasikan untuk melanjutkan tugas di Densus 88 dan dipindahkan ke satuan kerja lain dalam waktu minimal 4 tahun,” kata Satrio Wirataru Staf Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS di kantor KontraS Jalan Kramat II, Jakarta Pusat, hari Senin (16/5).

“Majelis Etik menganggap keduanya hanya melakukan pelanggaran prosedur dalam pengawalan saat melakukan penangkapan terhadap Siyono,” dia menambahkan.

Putusan tersebut, kata Satrio, tentunya sangat jauh dari rasa keadilan bagi keluarga korban mengingat proses persidangan etik dilakukan secara tertutup dan tidak dapat diakses oleh publik.

“Tidak hanya itu, Majelis Etik juga melarang Marso Diyono, ayahanda alm Siyono untuk didampingi kuasa hukum saat menghadiri dan memberikan kesaksian dalam persidangan etik itu,” kata dia.

Sementara itu, Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS, Yati Andriyani, mengatakan dari hasil putusan tersebut KontraS mencatat ada tiga poin.

Pertama, kata Yati, Sidang Etik kasus Siyono dilakukan secara tertutup. Keputusan Majelis Etik yang menyatakan bahwa Sidang Etik kasus Siyono tidak dibuka kepada publik dengan alasan keamanan bagi pelaku adalah alasan berlebihan dan tidak dapat diterima.

“Jika yang dipermasalahkan mengenai kerahasiaan indentitas, selama persidangan anggota Densus 88 tersebut dapat menggunakan topeng atau masker untuk menutupi wajahnya serta Majelis Etik dapat menyamarkan nama keduanya dalam berkas-berkas persidangan,” kata dia.

“Sidang Etik yang dilakukan secara tertutup justru melanggar prinsip akuntabel, kesamaan hak, kepastian hukum, keadilan dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Kapolri Nomor 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri,” dia menambahkan.

Kedua, kata Yati, mekanisme etik Polri tidak mampu memberikan sanksi yang adil. Penjatuhan sanksi demosi dan permintaan maaf atasan pelaku dan institusi Polri tentu tidak adil jika dibandingkan dengan perbuatan kedua anggota Densus 88 tersebut yang menyebabkan Siyono meninggal.

“Hal ini disebabkan karena pada dasarnya mekanisme etik hanya terbatas untuk mengkaji pelanggaran prosedur dalam melakukan tindakan kepolisian. Sanksi terberat yang dapat diberikan, yakni pemberhentian tidak dengan hormat pun hanya dapat dilakukan apabila terlebih dahulu dilakukan proses pidana terhadap anggota Densus 88 itu,” kata dia.

Keempat, lanjut Yati, mekanisme etik Polri tidak mampu memenuhi hak saksi dan korban. Larangan Majelis Etik terhadap ayahanda alm Siyono untuk didampingi kuasa hukum saat akan menghadiri dan memberikan kesaksian dalam persidangan etik tentu tidak dapat dibenarkan. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa  sebuah hak bagi saksi dan korban untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapat informasi kasus dan putusan pengadilan maupun nasihat hukum, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

“Terhadap putusan sidang etik yang mengecewakan itu, KontraS menyadari bahwa mekanisme etik di institusi tidak akan mampu menyelesaikan kasus dugaan penyiksaan dan menuntut pertanggungjawaban anggota Polri yang terlibat, proses pidana harus tetap ditempuh untuk menjamin rasa keadilan dalam pemberian sanksi dan pemenuhan hak-hak bagi korban maupun keluarga korban dalam proses hukum,” kata dia.

Selain itu, kaya Yati, KontraS mendesak Kapolri untuk memerintahkan Kabareskrim Polri segera memulai proses penyidikan pidana terhadap anggota Densus 88 Polri yang terbukti dalam kasus penyiksaan alm Siyono hingga meninggal dunia.

“Kapolri harus memastikan seluruh proses pidana dilakukan dengan terbuka dan dapat diakses oleh publik,” kata dia.

Yati berpendapat bahwa KontraS mendesak Kapolri untuk menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada pihak korban atas tindakan anggotanya yang telah bertindak sewenang-wenang dan melawan hukum.

“Kapolri juga harus mendesak Kadensus 88 Polri untuk bertanggung jawab atas kelalaian anggotanya dengan memberikan rehabilitas dan restitusinya secara resmi terhadap keluarga korban,” kata dia.               

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home