Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 18:10 WIB | Kamis, 02 Juni 2016

KSPI: Ahok Utamakan CSR, Bahayakan Kedaulatan Negara

Demonstrasi yang dilakukan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hari Kamis (2/6). (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menentang keras kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dianggap mengedepankan uang muka (Down Payment/DP) dan Corporate Social Responsibility (CSR) dari pengusaha dalam membangun ibu kota.

Ahok mengaku lebih senang memakai dana CSR perusahaan karena Pemprov tidak perlu mengeluarkan uang untuk pembangunan.

Kebijakan yang mengesampingkan dana APBD tersebut dipandang membahayakan kedaulatan negara dan sistem demokrasi, dimana negara akhirnya tunduk kepada kepentingan segelintir pemilik modal.

“Saat ini, kaum buruh mulai sadar banyak kebijakan Ahok yang dinilai anti terhadap demokrasi. Salah satunya adalah pembungkaman kebebasan aksi (freedom association),” ujar Presiden KSPI, Said Iqbal, usai melakukan aksi demonstrasi bersama ratusan buruh lainnya di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, hari Kamis (2/6).

Ahok dinilai sebagai satu-satunya gubernur yang getol membuat peraturan gubernur mengenai larangan melakukan aksi unjuk rasa, kecuali di tiga tempat, yakni di Monumen Nasional (Monas), Parkir Timur Senayan, dan DPR RI.

Menurut mereka, aksi demonstrasi adalah sesuatu yang sangat dibenci pemilik modal, karena dinilai akan mengganggu kepantingannya dalam menguasai negara.

Dalam hal ini, kaum buruh juga sudah merasakan betapa pada akhirnya polisi menjadi sangat represif dan membela kepentingan pemilik modal hitam. Untuk melemahkan gerakan buruh, aparat keamanan tak segan mengkriminalisasi (mempidanakan) 23 buruh dan aktivis gerakan sosial yang terdiri dari 2 pengacara  publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, juga seorang mahasiswa ketika sedang melakukan aksi demonstrasi.

KSPI menilai, semua kebijakan ini adalah barter para pemilik modal untuk membungkam aksi-aksi damai buruh demi penguasaan modal yang mencengkram negara.

Ahok, lanjut dia, tidak segan-segan menggunakan tentara dan polisi dalam penggusuran rakyat kecil.

“Ironisnya, ada dugaan, semua ini dibiayai menggunakan uang DP dan CSR penguasa hitam. Hal itu, tentu saja, selain sangat membahayakan demokrasi, juga bertentangan dengan UU TNI dan UU Kepolisian. Semua itu harus segera dihentikan,” ujar Said.

Disamping itu, mereka menyuarakan keluhan mereka atas kebijakan Ahok yang mengeluarkan kebijakan upah murah yang nilainya di bawah upah minimum Bekasi dan Karawang, penggunaan outsourcing di perusahaan-perusahaan pemberi CSR, tidak ada rumah susun (rusun) buruh, dan ongkos transportasi yang mahal.

Padahal, disebutkan oleh Said, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta sangat besar, yakni sekitar 80 triliun.

“Ini akibat dari kebijakan yang dibarter dengan modal, bukan menggunakan APBD dalam membangun Jakarta,” ia menambahkan.

Dalam aksi ini, KSPI juga menuntut KPK untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka atas dugaan korupsi di RS Sumber Waras, reklamasi, dan penyalahgunaan diskresi; dan menuntut kenaikan upah minimum tahun 2017 sebesar Rp 650 ribu.

Hal ini mengingatkan survei biaya hidup keluarga di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebesar Rp 5,6 juta per bulan.

Apabila KPK tidak memperhatikan tuntutan buruh ini, dikatakan oleh Said, maka aksi buruh akan dilakukan terus menerus dan tidak menutup kemungkinan demonstrasi meluas dengan melibatkan unsur masyarakat juga mahasiswa.

Para buruh datang membawa atribut berupa poster, spanduk, dan bendera. Mereka pun mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian. Aksi demo tidak berlangsung lama, karena setelah dilakukan negosiasi dengan polisi, ratusan buruh terpaksa membubarkan diri.

Akibat aksi unjuk rasa tersebut, ruas Jalan HR Rasuna Said dari arah Jalan Raya Mampang Prapatan, Jakarta Selatan menuju Jalan Cokroaminoto, Jakarta Pusat terjadi antrean kendaraan, karena setengah dari ruas jalan itu digunakan untuk aksi unjuk rasa.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home