Loading...
INSPIRASI
Penulis: Tjhia Yen Nie 01:00 WIB | Jumat, 12 September 2014

Layang-layang yang Kusayang

Menjadi guru atau orangtua seperti mengudarakan layang-layang. Diam saja, layangan kita akan hilang terbawa angin. Terlalu kencang ditarik pun akan menyebabkannya jatuh.
Foto: istimewa

SATUHARAPAN.COM – Ketika kecil Papa sering mengajak saya bermain layang-layang.  Saya disuruh memegang layangan, setelah diberi aba-aba melepaskan layangan tersebut, saya berlari ke samping Papa untuk menjaga benang yang digelondongkan pada kaleng. Setelah layang-layang mengangkasa, Papa akan membiarkan saya memegang benang untuk menjaga agar layang-layang tersebut stabil di udara.

Udara yang cerah, angin bertiup sepoi, menyemarakkan suasana, tetapi jika banyak orang bermain layangan, tidak jarang layangan akan saling membelit.  Kadang Papa sengaja menyiapkan benang yang tajam, sehingga jika ada layangan musuh mendekat, benang mereka akan tersayat dan putus, dengan teknik sendiri Papa akan membandang layangan musuh dan membelitnya di udara sehingga ketika layangan diturunkan, kami akan mendapat dua layangan.

Kenangan itulah yang terlintas di benak saat saya mendapatkan kesulitan dalam menghadapi anak-anak sekarang.  Seorang anak, yang mulai memasuki SMP, tiba-tiba mengedarkan foto gurunya dengan diberi perkataan tidak senonoh.  Tentu beda kasus dengan Florence Sihombing karena anak ini baru berusia 12 tahun, sehingga kita harus memandangnya sebagai keisengan remaja, seburuk apa pun efek yang disebarkan anak tersebut.

Anak yang  manis dan suka tersenyum ini terlihat sopan. Karena itu, orangtuanya menyalahkan guru yang telah memarahinya karena mengganggu suasana kelas sehingga Si Anak tersinggung dan melakukan hal buruk. ”Coba saja kalau gurunya yang lebih dewasa menegur dengan lembut, tentu anak saya tidak melakukannya, karena anak ini sensitif dan tidak suka dimarahi,” bela ibunya.

Menjadi guru atau orangtua seperti mengudarakan layang-layang.  Diam saja, layangan kita akan hilang terbawa angin.  Terlalu kencang ditarik pun akan menyebabkannya jatuh.  Belum lagi dengan belitan layang-layang lain, dapatkah kita membandangnya ataukah layangan kita yang terbandang orang lain?  Membutuhkan hati seluas samudra untuk mengajarkan anak-anak kita ilmu dan jiwa yang tidak mudah patah.  Tidak hanya mengajarkan mereka meraih kesuksesan, tetapi juga menghadapi kegagalan. Sebab kesuksesan adalah keberhasilan mengatasi kesulitan.

 

Editor: ymindrasmoro

Email: inspirasi@satuharapan.com


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home