Loading...
DUNIA
Penulis: Reporter Satuharapan 12:42 WIB | Rabu, 08 Januari 2014

Lebih Dari 50.000 Buku Dibakar di Perpustakaan Kristen di Lebanon

Tentara Lebanon berdiri di luar perpustakaan berusia puluhan tahun milik seorang Imam Ortodoks Yunani. Buku-buku di perpustakaan ini dibakar sehari setelah penemuan pamflet yang menghina Islam dan Nabi Muhammad pada salah satu buku di perpustakaan tersebut. (Foto dari rt.com)

WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM – Para pemimpin Amerika Serikat (AS) mengecam pembakaran perpustakaan pemimpin Kristen di Tripoli, Lebanon, Jumat (3/1) malam lalu karena didasarkan pada tuduhan palsu dan dikatakan bahwa ini adalah ancaman bagi kebebasan beragama.

“Yang terburuk adalah bahwa kejadian ini bukanlah sesuatu yang aneh,” jelas Robert P. George, kepala Komisi Amerika Serikat pada Kebebasan Beragama Internasional (United States Commission on International Religious Freedom – USCIRF) pada wawancara dengan The Christian Post (CP) Senin (6/1).

George memberikan penekanan pada kebutuhan advokasi kebebasan beragama di seluruh dunia untuk mencegah serangan semacam ini.

Berdasarkan laporan RT – saluran berita berbahasa Inggris di Rusia – kebakaran Jumat malam lalu telah menghanguskan dua pertiga dari 80.000 buku dan manuskrip di Perpustakaan Al-Saeh milik imam Ortodoks Yunani, Ibrahim Surouj.

Para pelaku pembakaran itu menjadikan Surouj sebagai target karena adanya penemuan pamflet yang menghina Nabi Muhammad pada salah satu buku di perpustakaannya. Ketika Surouj menemui para pemimpin Islam di sana, ia menyatakan bahwa ia tidak ada hubungannya dengan pamflet itu.

Berdasarkan pemberitaan The Blaze – portal berita AS – Pasukan Keamanan Internasional Brig. Imad Ayyoubi turut mengecam aksi ini. “Bapa Surouj tidak ada hubungannya dengan artikel ini dan bahkan sumber situs tulisan ini adalah dari Denmark yang diterbitkan pada 7 Januari 2010,” kata Ayyoubi.

Sabtu (4/1), ratusan warga Lebanon melakukan demonstrasi sebagai bentuk dukungan bagi Surouj.

“Api histeria kekerasan terhadap semua yang dianggap ancaman bagi Islam menyebar dengan cepat di dunia Islam saat ini,” direktur The Hudson Institute’s Center for Religious Freedom, Nina Shea menjelaskan pada CP pada Senin (6/1).

Dalam tulisan Silenced: How Apostasy and Blasphemy Codes are Choking Freedom Worldwide, Shea menelusuri balasan untuk setiap dugaan penghinaan terhadap Islam dengan melihat kembali kepada sumbernya. Ia mengecam pemerintah Arab Saudi dan Iran, serta mengimbau the Organization of Islamic Cooperation (OIC) untuk “mengakhiri kampanye mereka yang menyulut amarah terhadap penghinaan agama di seluruh dunia.”

Shea juga mengimbau OIC agar mengubah langkah aksi mereka dan mendesak organisasi itu untuk mengutuk aksi kekerasan yang kini dilancarkan terhadap perpustakaan Kristen Lebanon, dan lebih parah lagi terhadap minoritas Kristen di setiap bagian dunia Arab.”

George dari USCIRF mengangkat sejarah kekerasan sektarian di Lebanon. “Peristiwai ini terjadi seperti Lebanese Civil War (perang saudara antar warga Lebanon),” pada tahun 1975 hingga 1990, George menambahkan.

“Jika bepergian di Lebanon seperti yang saya lakukan, orang akan melihat adanya beberapa pos pemeriksaan keamanan. Negara ini mengalami banyak tindak kekerasan yang seringkali didasarkan pada kekerasan berbasis agama.”

“Beirut sendiri sempat dikenal sebagai Kota Paris-nya Timur Tengah (the Paris of the Middle East), pada masa kedamaian dulu,” lanjut George. “Beirut menjadi kota dimana berbagai macam orang dari latar belakang agama yang berbeda dapat hidup berdampingan dengan damai,” kenang George yang kemudian menyebutkan berbagai macam agama di Lebanon: Katolik Maronite, Katolik Roma, Islam Sunni dan Syiah, Ortodoks Timur, dan Kristen Antiokia.

Meskipun ada kekerasan semacam ini, George tetap memuji negara Lebanon yang membangun kembali Sinagog Yahudi kuno. Namun ia menyayangkan hilangnya populasi Yahudi, yang kini menjadi semakin kecil. “Kami melihat bahwa Timur Tengah mengosongkan populasi bersejarah umat Kristen,” terang George.

Ia bahkan merujuk pada kerabatnya yang melarikan diri dari Suriah. “Keluarga ayah saya adalah orang Suriah dari komunitas Ortodoks Antiokia kuno yang dulu hidup berdampingan dengan tetangga Muslim dengan damai. Mereka bisa membangun kehidupan bagi diri mereka sendiri. Namun mereka kini memilih melarikan diri dari Suriah.”

George melanjutkan, “Menjadi hal yang tidak mungkin bagi mereka untuk hidup di negeri mereka sendiri – mereka akan terus mengalami ketakutan.”

Ia juga mengatakan bahwa USCIRF memiliki misi untuk mendesak Presiden Obama dan pemerintahannya agar menjadikan isu kebebasan beragama sebagai prioritas dalam hubungan antar negara.

Menurut George, adalah kewajiban setiap pemerintah untuk memungkinkan terjadinya kebebasan beragama serta mencegah dan memberi sanksi atas setiap serangan terhadap kebebasan beragama.

Pemerintah Lebanon juga berkewajiban untuk melakukan perbaikan dan pemulihan bagi orang-orang yang dianiaya seperti yang dialami oleh Surouj serta untuk menghukum para pelakunya.

Namun pemerintah jangan melakukannya hanya agar memiliki hubungan baik dengan AS karena George berargumentasi bahwa keberhasilan ekonomi dan politik suatu negara tergantung pada bagaimana negara menghormati kebebasan beragama.

“Jika mengharapkan perkembangan negara, kita perlu membangun kebebasan beragama,” tegasnya, “Itu kenyataan bagi Lebanon, kenyataan bagi Suriah, dan kenyataan bagi negara mana pun. christianpost.com

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home