Loading...
RELIGI
Penulis: Trisno S Sutanto 19:30 WIB | Rabu, 03 Juli 2013

Mahasiswa Indonesia di Canberra Prihatin dengan Relokasi Warga Syiah Sampang

Perwakilan warga Syiah Sampang saat mengadu ke KPAI mengenai nasib anak-anak mereka. (foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Nasib warga Syiah di Sampang, Madura, yang terusir dari daerah mereka sebagai akibat tindakan kekerasan kelompok massa intoleran makin tak menentu. Setelah dipaksa tinggal di tempat pengungsian sementara, kini warga Syiah tersebut menuntut keadilan dan ingin pulang ke daerah mereka.

Pemerintah sendiri, lewat Menag Suryadharma Ali mengusulkan tindakan relokasi ke Sidoarjo. Menurut Menag, tindakan relokasi itu dilandasi rasa kemanusiaan. "Rasa kemanusiaan yang harus dikedepankan, karena pengikut Tajul Muluk (Syiah Sampang) sudah 10 bulan berada di gelanggang olahraga (GOR) setempat," kata Menag kepada pers.

Akan tetapi, usulan itu ditolak oleh warga Syiah Sampang yang Selasa (2/07) lalu melakukan demonstrasi menuntut pemerintah mengembalikan mereka ke tempat asal dan memberi jaminan keamanan. Keinginan warga ini mendapat dukungan dari para mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan lanjut di Canberra, Australia. Mereka menulis pernyataan sikap berbentuk surat kepada Presiden SBY yang salinannya dikirim ke redaksi satuharapan.com.

Berikut ini pernyataan sikap mereka:

FORUM SOLIDARITAS UNTUK KEBHINEKAAN

Kepada Bapak Presiden Republik Indonesia

Kami adalah warga Indonesia yang sedang menempuh pendidikan serta penelitian di Canberra, Australia. Pada pelbagai forum kami mendengar betapa Indonesia kini mengalami sejumlah kemajuan dalam banyak sekali bidang. Dan kami bangga dengan itu.

Tapi, Pak Presiden, di sela-sela kesibukan kami mengamati perkembangan Indonesia, tiba-tiba kami dikejutkan oleh berita tentang sekelompok warga negara yang diusir dari rumahnya. Mereka mengungsi berbulan-bulan akibat hilangnya rasa aman. Setelah itu, mereka pun harus kembali terusir dari tempat pengungsian mereka. Warga negara yang kebetulan berkeyakinan Islam Syiah itu masih berharap bisa kembali ke tanah kelahiran mereka, Sampang, Madura. Betapapun rumah-rumah mereka telah hangus terbakar, mereka ingin membangunnya kembali. Tapi ternyata mereka dipindahpaksakan ke rumah susun di Sidoarjo. Mereka semakin jauh dari tempat tinggalnya.

Kami tidak hanya prihatin, tapi juga teramat sedih. Sedih karena demokrasi Indonesia yang sedang bertumbuh ini harus ternoda oleh ketidakmampuan (tepatnya, ketidakmauan) negara melindungi sekelompok warganya yang ingin hidup dengan keyakinan sendiri. Dalam banyak survei, diketahui bahwa intoleransi di tengah masyarakat kian hari kian tinggi. Walau kami sadar bahwa ini bukan semata tanggung-jawab pemerintah, tapi juga tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, pendidik, media, dan lain-lain, tapi inisiatif tertinggi tetap di tangan negara.

Untuk itu, kami, mahasiswa Indonesia di Canberra, meminta ketegasan pemerintah untuk:

1. Melindungi hak-hak kewargaan komunitas Syiah Sampang dan komunitas minoritas lain;
2. Membiarkan dan memberi rasa aman bagi warga Syiah yang ingin kembali membangun dan tinggal di rumahnya di Sampang;
3. Mengambil tindakan hukum yang tegas bagi siapapun yang merusak dan melakukan kekerasan terhadap warga Syiah Sampang;
4. Mengambil tindakan hukum yang tegas bagi siapapun yang dengan sengaja di hadapan publik menghasut dan melakukan syiar kebencian kepada suatu kelompok masyarakat, seperti komunitas Syiah;
5. Mengambil tindakan hukum yang tegas kepada aparat negara yang melakukan pembiaran terjadinya aksi kekerasan terhadap komunitas Syiah Sampang yang menyebabkan properti mereka rusak dan dua orang meninggal;
6. Melakukan kampanye yang massif tentang pentingnya toleransi hidup bermasyarakat melalui pendidikan, ceramah agama, pertemuan di lingkungan masyarakat, media, dan lain-lain.

Demikian dan terima kasih.

Canberra, 3 Juli 2013
Forum Solidaritas untuk Kebhinekaan

1. Sri Lestari Wahyuningroem (PhD Student, Dept of Political and Social Change, ANU)
2. Saidiman Ahmad (GradDip Student, Crawford School of Public Policy, College of Asia and the Pacific, ANU)
3. Henri Sitorus (Research Scholar/PhD Candidate Civil Society, Citizenship and Third Sector Research Group, ADSRI -Research School of Social Sciences, ANU).
4. Burhanuddin Muhtadi (PhD Student, Dept of Political and Social Change, College of Asia and the Pacific, ANU)
5. Frederika Korain (MAAPD Student,  School of Arts and Social Sciences, ANU)
6. Fajar Argo Djati (Master Student, College of Asia and the Pacific, ANU)
7. Br. Budi Hernawan, OFM (Postdoctoral Research Fellow Regulatory Institutions Network (RegNet), College of Asia and the Pacific, ANU) 
8. Yulia Indri Sari (PhD Student, Crawford School of Public Policy, College of Asia and the Pacific, ANU)
9. Indri Sri Sembadra (Aktivis Perempuan)
10. Arianto Patunru (Fellow, ANU College of Asia and the Pacific)
11. Stella Hutagalung
12. Ariane Utomo (Research Fellow, ANU College of Arts and Social Sciences)
13. Didi Ahmadi (Master Student, Crawford School of Public Policy, ANU)
14. Fadliya (PhD student, Crawford School of Public Policy, ANU)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home