Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 07:05 WIB | Rabu, 21 Desember 2016

“Majelis Hakim Harusnya Pertimbangkan Eksepsi Ahok”

Ilustrasi. Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Foto: Dok. satuharapan.com/Ant)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi hukum, Andi Syafrani, menilai, majelis hakim seharusnya mempertimbangkan eksepsi Gubernur Petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurutnya, hal itu mengingat kasus hukum yang menjerat Ahok bukanlah masalah hukum, tetapi masalah politik yang sarat muatan kepentingan-kepentingan di luar tujuan penegakan hukum itu sendiri.

“Majelis hakim mestinya mempertimbangkan untuk mengabulkan dan menerima eksepsi terdakwa. Alasan-alasan hukum yang disampaikan terdakwa melalui kuasa hukumnya cukup beralasan dan patut dipertimbangkan,” ujar Andi di Jakarta, hari Senin (19/12).

Andi menilai, proses peradilan terhadap Ahok adalah peradilan berdasarkan tekanan massa. Padahal, tujuan peradilan sebagaimana tertuang dalam Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran. Oleh karena itu, keberadaan penegak hukum harus bisa memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia untuk mendapatkan perlindungan hukum, keadilan, dan kebenaran.

Dia menerangkan, jika benar Ahok melakukan tindakan sebagaimana didakwakan Penuntut Umum, maka seharusnya masyarakat Kepulauan Seribu melaporkan ke polisi pada tanggal 27 September 2016 itu juga. Namun kenyataannya, laporan baru dibuat 9 hari kemudian, mulai tanggal 6 Oktober 2016, setelah 14 saksi pelapor mengunggah video dari youtube yang sangat diragukan keasliannya.

Andi melihat keanehan terjadi di dalam pelaporan tersbut, sebab dari 14 saksi pelapor hanya 3 saksi pelapor yang benar-benar berdomisili di Kepulauan Seribu, sedangkan saksi pelapor lainnya berdomisili di Jakarta, Bekasi, Bogor.

“Bahkan ada yang dari Medan, Padang, Makassar, dan Palu yang melaporkan melalui Polda mereka masing-masing. Tekanan masif, terstruktur, dan sistematis oleh massa terhadap aparat penegak hukum justru terjadi pada tanggal 4 November 2016 dalam sebuah demo besar-besaran di Jakarta, di mana massa pendemo menuntut aparat penegak hukum menetapkan Ahok sebagai tersangka. Dan berdasarkan tekanan massa itu maka tanggal 16 November 2016 Polri menetapkan  Ahok sebagai tersangka,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia mengatakan, penetapan Ahok sebagai tersangka bukan berdasarkan alat-alat bukti, tetapi berdasarkan voting. Terbukti, penetapan Ahok sebagai tersangka dilakukan sebelum penyidikan. Ini artinya, alat bukti untuk menetapkan tersangka belum ditemukan, sehingga penetapan Ahok sebagai tersangka hanya berdasarkan voting di antara para penyidik.

Hal ini diakui sendiri oleh Kapolri Jenderal Polisi, Tito Karnavian, bahwa dalam menetapkan Ahok tidak ada kata sepakat atau tidak ada suara bulat di antara para penyidik.

Di sini Kapolri hendak mengatakan bahwa penetapan tersangka dilakukan melalui proses voting dan bukan berdasarkan alat bukti.“Dengan kata lain, ada kepentingan lain yang bersembunyi di balik penetapan Ahok sebagai tersangka,” tuturnya.

Padahal Pasal 80 KUHAP menegaskan penegakan hukum termasuk penetapan tersangka hanya boleh demi mencari kebenaran. Pasal 80 KUHAP itu terinspirasi oleh Filsuf Juvernalis yang mengatakan: “Kebenaran seharusnya dinyatakan secara bebas yaitu bebas dari berbagai kepentingan dan hanya demi kebenaran, orang boleh mempertaruhkan hidupnya”.

Dia menegaskan, voting seperti dilakukan oleh Polri, selain bertentangan KUHAP, juga bertentangan dengan praktek hukum yang menegaskan kebenaran tidak boleh dilakukan dengan cara voting.

Leibniz, seorang filsuf modern mengingatkan: “Barangsiapa mencari kebenaran, janganlah menghitung suara”. Itu berarti kebenaran tidak bisa dikompromikan berdasarkan kepentingan atau keuntungan tertentu. Kebenaran itu ada di atas segala-galanya. Persis seperti apa yang dikatakan oleh Aristoteles: “Plato sahabatku, Sokrates temanku, tetapi kebenaranlah yang menjadi sahabatku yang paling karib”. Jadi, kebenaran tidak bisa dikalahkan melalui mekanisme voting,” katanya. (PR)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home