Loading...
HAM
Penulis: Prasasta Widiadi 08:20 WIB | Kamis, 23 Februari 2017

Masyarakat Harus Bedakan Pemufakatan Jahat dan Kebebasan Berekspresi

Dari kiri ke kanan, aktivis dari Amnesty International, Papang Hidayat, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono, dan ahli kriminologi Universitas Indonesia (UI), Eva Ahjani Zulfa dalam diskusi Seri Demokrasi : Miskonsepsi dan Misinterpretasi Makar, di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, hari Rabu (22/2). (Foto: Prasasta Widiadï)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam era demokrasi, masyarakat harus dapat membedakan perbuatan, tindakan atau aktivitas yang dikategorikan pemufakatan jahat, dan mana yang kebebasan berekspresi, dan mana yang tergolong tindakan makar.

“Dalam era demokrasi kita harus bisa membedakan mana yang dikatakan pemufakatan jahat, dan mana yang merupakan bagian dari kebebasan berkespresi,” kata ahli kriminologi Universitas Indonesia (UI), Eva Ahjani Zulfa, dalam diskusi Seri Demokrasi : Miskonsepsi dan Misinterpretasi Makar, di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, hari Rabu (22/2).

Dia memberi contoh dalam kasus yang terjadi beberapa waktu lalu, beberapa waktu sebelum aksi Damai 2 Desember (212 Jilid Pertama) digelar, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melakukan penangkapan terhadap sejumlah pihak yang diduga hendak melakukan makar. 

Penangkapan Jelang 212 Jilid Pertama

Menurut antaranews.com, beberapa waktu lalu Polri melakukan penangkapan terhadap 11 orang terkait dugaan makar pada Jumat (2/12). Ada pun delapan orang yang ditetapkan sebagai tersangka masing-masing Ahmad Dhani, Kivlan Zein, Adityawarman, Ratna Sarumpaet, Firza Husein, Eko, Alvian, dan Rachmawati Soekarnoputri.

Meski sudah menjadi tersangka tapi polisi tidak melakukan penahanan terhadap mereka atas dasar penilaian subjektif. 

Sementara itu Kepolisian menahan  Sri Bintang Pamungkas, Jamran dan Rizal dijerat pasal 107 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berkaitan dengan konten dalam media sosial yang berisi ajakan penghasutan.

Eva tidak berkomentar dan mengkategorikan tindakan-tindakan yang dilakukan Ratna Sarumpaet dan kawan-kawan sebagai tindakan makar, tetapi masyarakat dan penegak hukum harus benar-benar memahami dan mengacu kepada pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka tindakan makar dilakukan dengan mengandalkan dua syarat, yakni ada niat dan ada tindakan permulaan.

“Yang menjadi isu adalah apa yang dilihat sebagai niat, dan apa yang disebut permulaan pelaksanaan, apakah ada korelasinya dengan pemufakatan jahat,”kata dia.

Bunyi Pasal 87 KUHP adalah sebagai berikut : “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu  ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.”

Sementara itu pasal 53 KUHP, terdiri dari empat ayat yang masing-masing berbunyi: ”Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri,” demikian bunyi ayat pertama.

“Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga,” demikian bunyi ayat kedua.

“Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun,” demikian bunyi ayat ketiga.

“Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai,” demikian bunyi ayat keempat.

Eva mengatakan masih ada pasal-pasal lain yang mengatur makar dalam KUHP antara lain  pasal 88, 104, 106, 107, 109 dan 110 KUHP.

Dalam pasal-pasal tersebut, kata dia, merupakan bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang sekelompok orang, yang mengakibatkan presiden tidak dapat menjalankan fungsi atau tugasnya, selain itu juga membuat pemerintahan baik pusat atau daerah tidak berjalan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home